Saya
paham betul, tidak semua situasi mampu saya damaikan satu per satu. Pasti ada
saja satu-dua yang saya musuhi. Ada satu-dua yang saya tidak senangi. Dan ada
satu-dua yang saya cemburui, ketusi, kasari, dan lainnya. Di luar ini juga saya termasuk orang yang keras terhadap diri sendiri dengan membiarkan tekanan tetap ada di pundak saya tanpa memperbolehkan orang lain memikulnya. Buat apa membagi beban, tanpa perlu dibagi pun orang lain sudah memilikinya, dan bisa jadi malah lebih banyak dari beban yang saya pikul. Dan lagi, saya tidak ingin menghabiskan seluruh hidup saya dengan hutang budi. Saya ingin menjadi manusia yang merdeka, di luar menjadi wanita yang mandiri. Baginilah prinsip saya yang sering disalahpahami. Namun biarlah, orang-orang bebas berpendapat dan saya bebas berprinsip (tidak meninggalkan apa yang menjadi pegangan saya seperti anggapan, selama tidak merugikan orang atau menggadaikan iman maka saya tidak akan berubah).
satu-dua yang saya cemburui, ketusi, kasari, dan lainnya. Di luar ini juga saya termasuk orang yang keras terhadap diri sendiri dengan membiarkan tekanan tetap ada di pundak saya tanpa memperbolehkan orang lain memikulnya. Buat apa membagi beban, tanpa perlu dibagi pun orang lain sudah memilikinya, dan bisa jadi malah lebih banyak dari beban yang saya pikul. Dan lagi, saya tidak ingin menghabiskan seluruh hidup saya dengan hutang budi. Saya ingin menjadi manusia yang merdeka, di luar menjadi wanita yang mandiri. Baginilah prinsip saya yang sering disalahpahami. Namun biarlah, orang-orang bebas berpendapat dan saya bebas berprinsip (tidak meninggalkan apa yang menjadi pegangan saya seperti anggapan, selama tidak merugikan orang atau menggadaikan iman maka saya tidak akan berubah).
Beberapa
malam berlalu dan akhirnya itu membuat mata kiri saya sakit. Agak gatal, dan
saya menguceknya sehingga membuat perubahan bentuk pada mata saya: garis
kelopak mata saya yang tadinya ada satu malah menjadi dua. Ya ampun, mata saya
terlihat lebih besar!
Harusnya
saya senang. Harusnya saya buat acara syukuran. Namun saya tidak begitu. Saya
menatap diri saya di cermin. Hal yang sejak dulu saya impikan (punya mata yang
sedikit agak besar agar teman-teman tidak lagi menjuluki saya dengan kata
sipit, merem, atau kata lain yang masih sekerabat) akhirnya terwujud, tetapi
saya malah tidak senang. Saya lebih suka mata saya yang biasa. Yang punya
senyum.
Saya
menyesal! Saya merasa ini azab! Aduh, keras sekali kata yang saya pakai. Hanya
saja memang begitu adanya. Saya merasa dihukum karena kurang bersyukur. Dan
setelah impian saya terwujud pun saya masih tidak bersyukur. Saya tampar pipi tetangga
keras-keras. Tidak, tidak seperti itu. Ini hanya gambaran kekesalan saja. Kalau
benar seperti itu saya bisa dikutuk. Dikatai “tolol” dan dimaki habis-habisan.
Yang sebenarnya adalah saya kompres mata saya biar bentuknya bisa seperti
semula. Saya mau mata saya yang lama. Pokoknya, bagaimanapun saya suka diri
saya! Saya mau diri saya!
Maka
setelah beberapa hari saya kompres. Beberapa hari juga saya paksa untuk tidur
malam lebih awal dan tidur siang lebih ngaret (yang pasti Emak sudah ngedumel
dan batin tujuh turunan punya anak gadis macam begini), mata saya kembali
seperti semula. Setelahnya saya baru sadar, ke mana insomnia pergi? Kenapa dia
tidak menyerang? Apa sudah ikat buntalan dan kabur atau ngumpet di kolong
jembatan?
Ah, masa
bodoh. Saya tidak lagi memikirkan insomnia. Tidak juga memikirkan obat yang
belum kunjung tiba sampai saya menulis ini. Saya cuma tahu kalau saya belajar
satu hal baru: Mencintai diri sendiri.
Ternyata
saat saya mencintai diri sendiri. Menerima diri saya apa adanya. Menerima
takdir yang diberikan kepada saya. Maka saya bisa tidur dengan nyenyak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar