“Kita tahu semua itu salah, tapi kenapa malah mempersulitnya?” tukas Angga sore
itu, tidak setuju dengan saranku.
Kata-katanya mengiang di telingaku, berakar dan kemudian tumbuh
semakin lebat, membuat pertanyaan-pertanyaan lain ikut tumbuh. Benar apa yang
Angga katakan sore itu, aku hanya keliru, aku hanya terburu-buru. Memutuskan
penting atas dasar emosi semata.
Sore itu aku meranjuk, mogok bicara. Aku memilih diam dan mengunci
diri di kamar seharian. Aku selalu saja bersikap kekanak-kanak setiap kali
keinginanku tidak terpenuhi, atau setiap kali ada hal yang tidak aku senangi.
Aku selalu sibuk merajut egoku sendiri.
“Maria ... ayo keluar, kita bicarakan baik-baik,” pinta Angga dengan
suara memelas, mulai lelah untuk membujukku.
Sepulang kerja tadi Angga terus berdiri di depan pintu kamar,
memintaku keluar. Tapi aku tak beranjak sedikit pun dari ranjang, pun tidak
membuka pintu yang terkunci.
“Maria ... ayolah.” Rupanya Angga belum menyerah, ia masih berusaha
membujukku.
Aku melempar buku yang ada di meja, melemparnya kuat-kuat ke arah
pintu. Kukatakan padanya kalau aku sudah tidak peduli lagi.
“Aku ingin cerai!"
Kata itu yang terus aku ucapkan sepagi tadi sebelum Angga berangkat
kerja, sebal atas kejadian semalam. Mungkin itu hanya hal sederhana seperti
yang Angga katakan, tapi tidak untukku. Aku tidak percaya semua penjelasan yang
Angga utarakan. Dia pasti berbohong.
“Kamu keluar dulu, Maria. Kita bisa bicara baik-baik. Jika memang
tidak bisa, maka aku menyerah,” bujuk Angga yang sudah hafal dengan sikap keras
kepalaku.
Setelah berpikir cukup lama akhirnya aku beranjak dari tempat tidur.
Perlahan aku membuka pintu. Semula Angga hanya melihatnya, namun kemudian dia
mulai menahan pintu begitu tahu kalau aku hendak menutupnya kembali--mencoba
lari dari masalah.
“Baiklah, kita bicarakan ini dulu. Apa pun yang kamu katakan aku
akan mendengarkannya, aku tidak akan memotong walau sepatah kata pun.” Angga
mencoba membuat sebuah kesepakatan. Dia ingin menyelesaikannya hari ini juga.
“Bagaimana? Kamu setuju?”
Aku yang masih menahan pintu dari dalam berpikir sesaat, menimbang
kesepakatan yang dibuat Angga.
“Kamu mau kita bicara di luar atau aku yang masuk ke dalam?”
“Aku akan keluar.”
***
Malam ini aku terus menimbang-nimbang jawaban yang diberikan
Angga--memikirkan ulang tentang keputusan yang telah kubuat. Aku tidak tahu
harus mengambil keputusan apa.
Shintya, wanita itu, aku mengenalnya dengan baik. Tapi Angga, dia
suamiku, dan aku telah mengenal Angga jauh sebelum ini, bahkan saat aku masih
berusia 8 tahun. Itu bukan waktu yang lama untuk mengenal seseorang, tapi
nampaknya waktu tak menjamin kita untuk benar-benar mengenal seseorang dengan
sanggat baik.
Kemarin malam aku melihat Angga keluar jam sebelas malam, dan itu
membuatku curiga. Saat aku memilih untuk percaya padanya tiba-tiba saja ponsel
Angga berdering, dan di sana tertera nama Shintya. Aku tersentak begitu membaca
pesan kalau Shintya mengajak Angga bertemu di tempat biasa.
Apa maksudnya di tempat biasa?
“Kamu sudah tidur?” tanya Angga dari balik pintu.
Aku tak menjawab sepatah kata pun.
“Aku tahu kamu belum tidur, aku sudah sangat mengenalmu. Jadi kalau
begitu ... dengarkan saja apa yang kuceritakan. Mungkin semua ini akan
membuatmu mulai merenunginya, memikirkan ulang keputusan itu,” ucap Angga lesu.
Aku menatap ke arah pintu, membayangkan sosok Angga yang setia
menunggu di sana meski sudah berjam-jam membujukku. Dia tak pernah beranjak
selangkah pun dari sana, terlebih asyik dengan dunianya sendiri dan
meninggalkanku.
“Saat itu ... hujan deras menyelimuti seluruh kota. Orang-orang
enggan beranjak keluar dari rumah. Mereka memilih untuk bermalas-malasan di
ranjangnya yang nyaman atau duduk di depan perapian untuk menghangatkan tubuh.
Tapi saat itu aku hanya bisa berdiri di bawah hujan, menunggu sesuatu yang tak
pasti. Berharap orang-orang akan iba padaku dan memberi selembar uang agar aku
dapat membeli makanan untuk ibuku yang terbaring sakit.
"Tapi hari itu aku bertemu seorang gadis kecil. Dia membawa
sepotong roti sembari memegang payungnya kuat-kuat. Dia menatapku dari kejauhan
dengan mata yang berkaca-kaca. Perlahan kakinya mulai melangkah, mendekat,
semakin dekat. Kamu ingat hari itu?” suaranya terhenti, terdengar isaknya walau
samar.
“Benar sekali, gadis kecil itu adalah kamu. Kamu yang selalu sama
seperti yang aku lihat sekarang. Kamu yang selalu menjadi sosok penyayang di
mataku, yang menangis ketika melihat orang lain dalam kesusahan, yang akan
berlari ketika orang lain membutuhkan pertolongan. Saat itu aku bertanya-tanya,
'Siapakah malaikat kecil di hadapanku ini?' Dia memberikanku sepotong roti dan
payung yang dibawanya, lantas berlari kecil setelah aku menerimanya. Menghilang
dalam hujan.
“...itu hanya sepotong memori indah yang kupunya. Aku terus
mencari-cari, terus bertanya-tanya. Kupikir aku tidak akan menemukannya lagi,
tidak dapat melihatnya lagi. Seorang gadis yang usianya empat tahun lebih muda
dariku, yang tingginya saja tak ada sampai sebahuku. Tapi matanya berbinar,
indah sekali.”
Aku mulai beranjak meninggalkan ranjangku, menyandarkan diriku tepat
di daun pintu. Aku ingin mendengarnya dari dekat, mendengarnya lebih jelas.
“Saat aku menyerah, saat aku pikir tidak mungkin menemukannya,
akhirnya dia ada di hadapanku. Seolah-olah dia yang mencariku. Lagi-lagi gadis
kecil itu menghampiriku, dengan sepotong roti dan payung di tangannya. Dia
berjalan perlahan mendekatiku, semakin dekat, semuanya sama seperti hari yang
lalu. Dan lagi, dia memberikan sepotong roti juga payung yang dipegangnya,
namun kali ini dia melepas jaket yang dikenakannya, memakaikannya di tubuhku
yang hanya mengenakan sehelai kaus tipis yang usang.”
Lagi-lagi terdengar isak Angga. Aku tahu dia sedang menyeka air
mata, mengenang semua yang telah terlewati, membayangkan kembali kejadian
bertahun-tahun lalu. Jika dia tidak menceritakannya aku bahkan tidak inga. Aku
sudah lupa semua itu.
“...dia hendak berlari lagi seperti saat itu, meninggalkanku sendiri
bersama hujan. Tapi aku menahannya, aku berhasil menggenggam tangannya.” Angga
tertawa sejenak, semenit kemudian melanjutkan cerita, “Dia menatapku, matanya
masih berkaca-kaca seperti saat lalu. Aku bahkan belum berucap terima kasih,
atau menanyakan namanya. Tapi apa kamu tahu? Gadis kecil itu menangis, air
matanya saru bersama hujan deras yang membasahi bumi. Dia terduduk di jalan,
menangis kencang. Aku kebingungan, orang-orang yang berlalu-lalang menatap ke
arahku dengan pandangan menyelidik.
“Aku yang panik langsung melepas payung yang ada di tanganku, payung
kedua hadiah dari sang gadis kecil yang cantik. Aku berjongkok di hadapannya,
bertanya mengapa dia menangis. Saat itu mungkin usiaku sudah dua belas tahun,
setahun lebih tua dari saat pertama kami bertemu. Saat itu aku tak mengerti
dengan jawaban yang dia berikan, tapi setelah aku cukup dewasa maka aku tahu
mengapa dia menangis saat itu. Apa kamu ingat apa yang kamu katakan?” ucapnya,
disusul dengan isak tangis yang sesenggukan.
Aku menggeleng dari balik pintu. Aku sungguh tidak ingat kejadian
itu sama sekali. Aku bahkan tidak ingat seperti apa saat pertama kali aku
bertemu Angga. Aku hanya tahu kami sudah menjadi kawan baik musim panas tahun
itu. Aku tak mengingat sedikit pun tentang hujan.
“Aku tidak tahu apakah kamu mengingatnya atau tidak, tapi baiklah,
aku akan mengatakannya. Saat itu kamu menangis, kamu tidak menjawab sepatah
kata pun saat aku menanyakannya beberapa kali. Baru setelah tangisan itu reda
kamu mulai berbicara. Itu pertamaka linya aku mendengar suaramu, bahkan masih
terdengar jelas sampai saat ini. Kamu bertanya mengapa aku berdiri di bawah
hujan tanpa payung, mengapa aku berada di luar dengan pakaian yang sangat
tipis.
“Saat itu aku tidak tahu, tapi kini aku tahu bahwa kamu
mengkhawatirkanku. Kamu cemas kalau aku akan jatuh sakit, itu sebabnya kamu
selalu memberikanku sepotong roti juga memberikanku payung yang sedang kamu
gunakan. Kamu berlari menerobos hujan, tak peduli dengan dirimu sendiri setelah
memberikan makanan dan payung milikmu.
“Kamu ... seorang gadis yang tak pernah aku kenal, datang begitu
saja di tengah derasnya hujan. Kamu mengkhawatirkan seseorang yang tak kamu
kenal di saat semua orang membuang muka. Kamu mencemaskannya sampai-sampai tak
memikirkan diri sendiri, mencemaskannya sampai menangis begitu deras di bawah
rintik hujan. Dan saat itu aku tahu ... bahwa kamu duniaku. Tak peduli seberapa
luas dunia yang aku miliki, saat kamu tidak berada di sampingku maka itu
menyakitkan, menyesakkan.”
Aku menitikkan air mata mendengar ceritanya. Aku tidak pernah
mengingat itu, mungkin aku sudah lupa, atau aku tidak menganggapnya spesial.
Dia selalu diam, menjagaku dengan baik, bahkan setelah bertahun-tahun lamanya
dia masih mengingat kejadian hari itu, yang mana mungkin aku dan hujan telah
mengalir--terlupa begitu saja.
Perlahan aku bangkit, membuka pintu. Menatapnya yang masih duduk
bersandar di tembok samping daun pintu--menatap langit-langit.
“Kamu tahu? Meski waktu berubah, meski waktu terasa sulit, kamu
masih tetap sama. Tidak peduli waktu telah berlalu 10 tahun, 20 tahun, atau
bahkan 60 tahun, kamu akan selalu sama.” Angga masih sibuk melanjutkan
ceritanya, memikirkan sesuatu sampai-sampai tidak tahu bahwa aku
memerhatikannya sejak tadi.
“Aku tidak tahu.” ucapku membuyarkan lamunannya. Ia pun langsung
bangkit, menatapku dengan mata berkaca-kaca.
“Aku tidak tahu kalau kamu akan sebodoh itu. Itu sudah berlalu
sangat lama. Kamu bilang usiamu 12 tahun? Kamu bercanda? Itu berarti sudah 15 tahun
yang lalu, lantas kenapa bersusah payah mengingatnya sendiri?” seruku ketus,
berpura-pura tidak peduli dengan ceritanya.
Angga menahan tangisnya. Ia tersenyum simpul dan menusap air matanya
yang jatuh begitu saja.
“Aku tahu sejak awal bahwa kamu tidak mengingatnya. Itulah kenapa
semua menjadi begitu berharga untukku. Karena gadis kecil itu, gadis kecil yang
kini berdiri di hadapanku, adalah seorang yang tulus. Dia terlalu sibuk
memikirkan kesusahan orang lain hingga tidak punya waktu untuk mengingat
kebaikannya sendiri,” jawab Angga bangga, lantas tersenyum lebar.
Aku menyeka ujung mataku yang mulai berair, menahan haru atas betapa
tulusnya cinta yang dimiliki suamiku. Tak peduli seberapa kekanak-kanakannya
aku, seberapa egoisnya aku, dia selalu saja melihat segala kebaikan yang
kumiliki. Ia melupakan begitu saja semua sifat-sifat burukku.
Angga langsung memelukku, menangis sambil berkata dia merindukanku,
meminta maaf berulang-ulang.
“Kenapa kamu meminta maaf? Tidak ada yang salah, tidak ada yang
terjadi sama sekali,” jawabku sambil menepuk-nepuk pelan punggungnya. Aku
menahan air mataku yang hendak mengalir.
“Benarkah?” tanya Angga dengan senyum yang dibarengi oleh sebaris
air mata yang masih mengalir.
Aku mengangguk.
“Terima kasih,” seru Angga dengan perasaan bahagia. Ia memelukku
lebih erat dari sebelumnya.
Aku ikut tersenyum dan membalas pelukkannya.
“Jangan terlalu erat,” bisikku.
“Kenapa?”
“Kasihan baby, nanti jadi sesak napas karena kamu terlalu
bersemangat,” jawabku mengingatkan.
Angga sedikit terkejut dan tak bisa berkata-kata. Dia baru tahu
kalau saat ini aku sedang hamil.
“Benarkah?” tanyanya dengan gugup. Tangannya gemetar ketika hendak
memegang perutku.
Aku mengangguk sekali lagi, tersenyum tanpa menjawab pertanyaannya.
"Kenapa kamu tak mengatakannya?
"Aku baru mengetahuinya kemarin."
"Sudah berapa bulan?
"Satu bulan," jawabku.
Angga tertawa pelan, percaya tak percaya kalau sebentar lagi ia akan
segera menjadi seorang ayah. Tersenyum serba salah, lantas kembali memelukku.
“Maaf aku lupa.” ucapnya saat sadar kalau ia memelukku sedikit erat.
Harusnya berita itu sudah ku beritahukan kemarin malam. Seharian aku
berpikir keras tentang bagaimana cara memberitahukan padanya kabar baik ini,
tapi ternyata semuanya malah berakhir dengan peristiwa yang tak terduga. Aku
hampir saja kehilangannya, membuat calon anakku harus lahir tanpa seorang ayah.
Aku tidak tahu seperti apa cara mencintai yang tepat. Aku tidak tahu
bagaimana harus memulai segalanya. Tapi kini aku tahu, dia selalu saja melihat
sisi terbaik dari pasangannya hanya untuk mempertahankan keharmonisan. Dia
membuat semuanya terasa lebih mudah. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar