Malam
itu, di antara kejenuhan mencari hal-hal baru—hal yang dapat membuat saya
merasa hidup, saya memutuskan untuk berselancar di Facebook. Mencari bahan
bacaan, lelucon, atau sesuatu yang mungkin akan menarik minat saya. Seolah-olah
tahu apa yang sedang saya cari, sebuah postingan muncul dari salah satu akun
yang berteman dengan saya (yang tidak saya kenali siapa pemostingnya karena
tentu tidak semua akun yang berteman adalah orang-orang yang merupakan teman).
Menampilkan ulasan tentang drama Korea satu ini: Hymn of Death.
Tertarik
dengan drama Korea, akhirnya saya membaca ulasan tersebut sampai ke amanat yang
disampaikan penulis, dan mengingat saya bukan orang yang anti spoiler, saya pun
juga membaca berbagai komentar yang muncul satu per satu. Lantas menggarisbawahi
kalau inti dari K-drama ini adalah tentang pelakor, menurut sudut pandang para
istri. Sementara untuk saya yang masih lajang, tentu anggapan itu menjadi daya
tarik. Membuat sebuah pertanyaan muncul begitu saja: Apa yang salah dengan
mencintai seorang pria yang tidak kau ketahui statusnya bahwa dia beristri? Apa
dicintai oleh seorang pria beristri yang menikah lantaran perjodohan adalah
dosa si wanita seutuhnya? Apa yang salah dengan dua orang yang saling
mempertahankan cinta mereka meski harus berakhir tragis?
Tentu
pertanyaan itu muncul bukan karena saya sedang mencitai suami orang. Oh, betapa
mudahnya orang mengambil kesimpulan. Saya hanya sekadar bertanya-tanya tentang
betapa kotor dan hinanya seorang wanita dipandang lantaran menjatuhkan hatinya
kepada seorang pria—yang sebenarnya tidak dia ketahui sudah menikah atau
mungkin sudah diketahuinya tetapi tetap tidak bisa dilupakannya karena sudah
terlanjur cinta—dan … bukankah cinta tidak bisa dikendalikan sesukanya?
mungkin.
Saya
tidak suka berdebat sendiri. Perdebatan yang bodoh adalah yang tidak mengetahui
akar masalahnya. Maka saya memutuskan untuk menonton K-drama tersebut, mencari
tahu apakah si wanita ini memang patut dihakimi sebagai perusak rumah tangga
orang atau tidak, meski anggapan kalau si pria juga salah tidak dibantah sama
sekali.
Hymn of
Death, mini serial yang memiliki 6 episode dengan total durasi 3 jam, yang
artinya setiap episode hanya berdurasi sekitar setengah jam. Sebuah drama yang
diadaptasi dari film 1991 berjudul Death Song dengan berlatarkan zaman
penjajahan Jepang. Menariknya K-drama ini diangkat dari kisah nyata seorang
penulis drama Kim Woo Jin (Lee Jong Suk) dan penyanyi soprano Yun Sim Deok
(Shin Hye Sun). Sebuah cinta yang berakhir tragis, atau mungkin saya boleh menyebutnya
sebagai sebuah usaha untuk mengakhiri penderitaan.
K-drama
ini berkisah tentang kelompok pelajar Korea yang belajar di Jepang. Berlatih
untuk pementasan drama dan menyemangati orang-orang Joseon dari keterpurukan
penjajahan Jepang. Dari sinilah Kim Woo Jin dan Yun Sim Deok berkenalan, meski
awalnya tidak ada ketertarikan sama sekali. Namun, lambat laun perkenalan itu
membawa mereka kepada sebuah ketertarikan khusus dari kepribadian
masing-masing. Menjadikan mereka semakin akrab meski terlihat ada sedikit
jarak, walaupun tidak diterangkan pada 2,5 episode awal kalau Kim Woo Jin sudah
memiliki istri di Joseon atau Korea, tetapi dia bukan tipe pria mata keranjang.
Bahkan di saat sedang berbunga-berbunganya kedua sejoli ini, Kim Woo Jin malah
memilih untuk memberitahukan statusnya secara tidak langsung dengan mengundang
Yun Sim Deok untuk ke rumahnya saat mereka sudah menyelesaikan tur pementasan
drama di Korea.
Tidak
perlu dijelaskan secara detail tentang kisah cinta dua sejoli ini, karena pada
dasarnya saya mulai melupakan tentang kisah cinta yang diangkat dalam K-drama
Hymn of Death. Fokus saya bukan lagi tentang mengamati apakah kisah cinta
mereka merupakan sebuah kesalahan, tetapi tentang problematik hidup. Ya,
ternyata saya mendapati kalau mimpi yang mencekik adalah hidup yang mati atau
mati yang hidup.
Tidak
ada masalah tentang cinta Kim Woo Jin dan Yun Sim Deok. Mereka sendiri
menikmati cinta dengan cara yang cukup sederhana. Bertemu sesekali dan bertukar
surat. Saling merindukan adalah bagian dari cinta mereka yang seolah-olah
menggambarkan kalau cinta adalah rindu dan rindu adalah cinta. Jadi sangat bisa
dilihat kalau alasan utama mereka bunuh diri bukanlah perkara cinta, tetapi
tentang hidup itu sendiri. Hidup yang malah membuat mereka tak ubah seperti
berada pada jurang kematian sehingga mereka memilih mati untuk sebuah
kehidupan.
Sebuah
mimpi yang pada dasarnya membuat seseorang hidup, ternyata malah membunuh. Yun
Sim Deok merasakan hal ini setelah pulang dari bersekolah di Jepang. Mimpinya
menjadi penyanyi soprano di Korea mungkin bisa dibilang terwujud seperti yang
dicita-citakannya. Namun, kenyataan kalau mimpinya bukan lagi miliknya adalah
hal yang memukulnya telak. Dia bernyanyi untuk menghidupi sebuah keluarga dan
membiayai sekolah adik-adiknya. Gaji kecil yang bukan masalah untuknya pun
bukan berarti benar-benar bukan masalah, karena pada kenyataannya orangtuanya
memintanya untuk menikah dengan seorang pria kaya raya yang dapat membantu
menghidupi keluarga mereka dan menanggung biaya adik-adiknya melanjutkan
pendidikan ke Amerika Serikat.
Begitu
juga Kim Woo Jin yang menemukan kalau menulis naskah drama adalah bagian dari
hidupnya, ternyata harus mengubur semua mimpi itu lantaran dia merupakan anak
pengusaha sukses di Korea yang mewarisi semua bisnis ayahnya. Hidupnya serba
dikendalikan, termasuk tentang pernikahan dan mimpi. Ayahnya bahkan melarangnya
untuk terjun ke dunia sastra. Yang artinya Woo Jin kehilangan bagian dari
hidupnya.
Di
tengah hiruk-pikuk kehidupan yang semakin mencekik, Sim Deok dan Woo Jin mulai
mengerti kenapa Takeo Arishima memilih untuk bunuh diri. Mereka mengerti karena
berada pada titik yang sama. Bahwa dalam hidup tidak ada tempat yang
benar-benar bisa membuatmu dapat beristirahat dengan tenang. Hidup adalah mati
dan mati adalah hidup. Maka mereka memutuskan untuk mati, lari dari segala
kenyataan agar bisa beristirahat dengan tenang. Agar bisa benar-benar merasakan
hidup.
Ah,
lagi-lagi saya menemukan kalau hidup ini adalah lelucon. Di saat seseorang
berjuang untuk melewati hidup yang keras dan mencoba bertahan, orang lain malah
sibuk menyorot bagian yang tidak perlu untuk dibesar-besarkan. Menjadikan
sebuah luka bertambah pedih. Sehingga wajar saja jika seseorang mencari tempat
beristirahat yang tenang dengan cara bunuh diri. Dan mungkin orang-orang baru
akan mengerti bahwa satu hal bukan sesuatu yang dapat ditimbang dengan
penilaian benar atau salah saat mereka berada pada titik yang sama. Ya, dalam
dunia ini tidak ada yang benar-benar benar dan tidak ada juga yang benar-benar
salah, tergantung dari sudut mana kau melihatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar