Rabu, 06 Februari 2019

Hymn of Death: Cinta dan Sebuah Usaha Mengakhiri Penderitaan


Malam itu, di antara kejenuhan mencari hal-hal baru—hal yang dapat membuat saya merasa hidup, saya memutuskan untuk berselancar di Facebook. Mencari bahan bacaan, lelucon, atau sesuatu yang mungkin akan menarik minat saya. Seolah-olah tahu apa yang sedang saya cari, sebuah postingan muncul dari salah satu akun yang berteman dengan saya (yang tidak saya kenali siapa pemostingnya karena tentu tidak semua akun yang berteman adalah orang-orang yang merupakan teman). Menampilkan ulasan tentang drama Korea satu ini: Hymn of Death.


Tertarik dengan drama Korea, akhirnya saya membaca ulasan tersebut sampai ke amanat yang disampaikan penulis, dan mengingat saya bukan orang yang anti spoiler, saya pun juga membaca berbagai komentar yang muncul satu per satu. Lantas menggarisbawahi kalau inti dari K-drama ini adalah tentang pelakor, menurut sudut pandang para istri. Sementara untuk saya yang masih lajang, tentu anggapan itu menjadi daya tarik. Membuat sebuah pertanyaan muncul begitu saja: Apa yang salah dengan mencintai seorang pria yang tidak kau ketahui statusnya bahwa dia beristri? Apa dicintai oleh seorang pria beristri yang menikah lantaran perjodohan adalah dosa si wanita seutuhnya? Apa yang salah dengan dua orang yang saling mempertahankan cinta mereka meski harus berakhir tragis?

Tentu pertanyaan itu muncul bukan karena saya sedang mencitai suami orang. Oh, betapa mudahnya orang mengambil kesimpulan. Saya hanya sekadar bertanya-tanya tentang betapa kotor dan hinanya seorang wanita dipandang lantaran menjatuhkan hatinya kepada seorang pria—yang sebenarnya tidak dia ketahui sudah menikah atau mungkin sudah diketahuinya tetapi tetap tidak bisa dilupakannya karena sudah terlanjur cinta—dan … bukankah cinta tidak bisa dikendalikan sesukanya? mungkin.
Saya tidak suka berdebat sendiri. Perdebatan yang bodoh adalah yang tidak mengetahui akar masalahnya. Maka saya memutuskan untuk menonton K-drama tersebut, mencari tahu apakah si wanita ini memang patut dihakimi sebagai perusak rumah tangga orang atau tidak, meski anggapan kalau si pria juga salah tidak dibantah sama sekali.

Hymn of Death, mini serial yang memiliki 6 episode dengan total durasi 3 jam, yang artinya setiap episode hanya berdurasi sekitar setengah jam. Sebuah drama yang diadaptasi dari film 1991 berjudul Death Song dengan berlatarkan zaman penjajahan Jepang. Menariknya K-drama ini diangkat dari kisah nyata seorang penulis drama Kim Woo Jin (Lee Jong Suk) dan penyanyi soprano Yun Sim Deok (Shin Hye Sun). Sebuah cinta yang berakhir tragis, atau mungkin saya boleh menyebutnya sebagai sebuah usaha untuk mengakhiri penderitaan.

K-drama ini berkisah tentang kelompok pelajar Korea yang belajar di Jepang. Berlatih untuk pementasan drama dan menyemangati orang-orang Joseon dari keterpurukan penjajahan Jepang. Dari sinilah Kim Woo Jin dan Yun Sim Deok berkenalan, meski awalnya tidak ada ketertarikan sama sekali. Namun, lambat laun perkenalan itu membawa mereka kepada sebuah ketertarikan khusus dari kepribadian masing-masing. Menjadikan mereka semakin akrab meski terlihat ada sedikit jarak, walaupun tidak diterangkan pada 2,5 episode awal kalau Kim Woo Jin sudah memiliki istri di Joseon atau Korea, tetapi dia bukan tipe pria mata keranjang. Bahkan di saat sedang berbunga-berbunganya kedua sejoli ini, Kim Woo Jin malah memilih untuk memberitahukan statusnya secara tidak langsung dengan mengundang Yun Sim Deok untuk ke rumahnya saat mereka sudah menyelesaikan tur pementasan drama di Korea.

Tidak perlu dijelaskan secara detail tentang kisah cinta dua sejoli ini, karena pada dasarnya saya mulai melupakan tentang kisah cinta yang diangkat dalam K-drama Hymn of Death. Fokus saya bukan lagi tentang mengamati apakah kisah cinta mereka merupakan sebuah kesalahan, tetapi tentang problematik hidup. Ya, ternyata saya mendapati kalau mimpi yang mencekik adalah hidup yang mati atau mati yang hidup.
Tidak ada masalah tentang cinta Kim Woo Jin dan Yun Sim Deok. Mereka sendiri menikmati cinta dengan cara yang cukup sederhana. Bertemu sesekali dan bertukar surat. Saling merindukan adalah bagian dari cinta mereka yang seolah-olah menggambarkan kalau cinta adalah rindu dan rindu adalah cinta. Jadi sangat bisa dilihat kalau alasan utama mereka bunuh diri bukanlah perkara cinta, tetapi tentang hidup itu sendiri. Hidup yang malah membuat mereka tak ubah seperti berada pada jurang kematian sehingga mereka memilih mati untuk sebuah kehidupan.

Sebuah mimpi yang pada dasarnya membuat seseorang hidup, ternyata malah membunuh. Yun Sim Deok merasakan hal ini setelah pulang dari bersekolah di Jepang. Mimpinya menjadi penyanyi soprano di Korea mungkin bisa dibilang terwujud seperti yang dicita-citakannya. Namun, kenyataan kalau mimpinya bukan lagi miliknya adalah hal yang memukulnya telak. Dia bernyanyi untuk menghidupi sebuah keluarga dan membiayai sekolah adik-adiknya. Gaji kecil yang bukan masalah untuknya pun bukan berarti benar-benar bukan masalah, karena pada kenyataannya orangtuanya memintanya untuk menikah dengan seorang pria kaya raya yang dapat membantu menghidupi keluarga mereka dan menanggung biaya adik-adiknya melanjutkan pendidikan ke Amerika Serikat.

Begitu juga Kim Woo Jin yang menemukan kalau menulis naskah drama adalah bagian dari hidupnya, ternyata harus mengubur semua mimpi itu lantaran dia merupakan anak pengusaha sukses di Korea yang mewarisi semua bisnis ayahnya. Hidupnya serba dikendalikan, termasuk tentang pernikahan dan mimpi. Ayahnya bahkan melarangnya untuk terjun ke dunia sastra. Yang artinya Woo Jin kehilangan bagian dari hidupnya.

Di tengah hiruk-pikuk kehidupan yang semakin mencekik, Sim Deok dan Woo Jin mulai mengerti kenapa Takeo Arishima memilih untuk bunuh diri. Mereka mengerti karena berada pada titik yang sama. Bahwa dalam hidup tidak ada tempat yang benar-benar bisa membuatmu dapat beristirahat dengan tenang. Hidup adalah mati dan mati adalah hidup. Maka mereka memutuskan untuk mati, lari dari segala kenyataan agar bisa beristirahat dengan tenang. Agar bisa benar-benar merasakan hidup.

Ah, lagi-lagi saya menemukan kalau hidup ini adalah lelucon. Di saat seseorang berjuang untuk melewati hidup yang keras dan mencoba bertahan, orang lain malah sibuk menyorot bagian yang tidak perlu untuk dibesar-besarkan. Menjadikan sebuah luka bertambah pedih. Sehingga wajar saja jika seseorang mencari tempat beristirahat yang tenang dengan cara bunuh diri. Dan mungkin orang-orang baru akan mengerti bahwa satu hal bukan sesuatu yang dapat ditimbang dengan penilaian benar atau salah saat mereka berada pada titik yang sama. Ya, dalam dunia ini tidak ada yang benar-benar benar dan tidak ada juga yang benar-benar salah, tergantung dari sudut mana kau melihatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar