Senin, 28 Januari 2019

Jatuh ya Jatuh, Kalau Sudah Cinta Memangnya Bisa Apa?

Apa isi tulisan kali ini?

Sebenarnya ini lebih ke curhatan. Eh, bukaaan. Ini hanya lebih ke sudut pandang saja. Tidak ada curhatan seperti bisa (emangnya biasa saya curhat ya?). Oke, oke, sekarang kita serius. Benaran serius? Maaf, nanti aja deh, kalau saya sudah cukup umur buat bisa diajak serius. Lho, kok malah ngelantur ya.


Sebenarnya saya hanya ingin menuliskan sudut pandang saya tentang salah satu hal yang sudah tidak asing lagi. Yupz, tentang pandangan beberapa orang atau remaja kalau cinta adalah hal yang salah (ini cinta ke lawan jenis ya maksudnya). Tidak sedikit, termasuk dulu saat saya masih duduk di bangku umur 17 tahunan, yang memandang cinta adalah hal keliru.

Harusnya saya bisa mengontrol hati untuk tidak jatuh cinta. Harusnya saya tidak terlalu dekat dengan si A biar tidak jatuh cinta. Dan terlalu banyak harusnya lainnya yang saya kemukakan sendiri, seolah-olah saya menghakimi diri saya sebagai pihak yang berdosa lantaran jatuh cinta.

Selain perkara saya jatuh cinta karena merasa terlalu akrab atau sedikit akrab dengan lawan jenis, padahal tidak juga sih, kadang saya jatuh cinta tanpa dekat, kayak misalnya lihat oppa-oppa Korea di K-drama, saya bisa saja jatuh cinta, tetapi urusan pernikahan tentu saya mikir ribuan kali (kayak oppa Koreanya mau ngajak nikah aja?). Saya juga memegang teguh pesan ayah saya yang memberikan banyak batasan dan peraturan, terutama kepada anak perempuannya. Kalau saya hanya boleh menikah dengan pria dari suku ini dan ini, selebihnya tidak boleh.

Lantas di mana masalahnya?

Tidak ada masalah, hanya saja saya pernah merasa nyaman dengan salah satu teman laki-laki saya, yang sudah jelas-jelas jangankan ayah saya, teman-teman lain pun banyak yang menentang. Padahal ini hanya perasaan nyaman, yang memang mungkin saja sedikit dominan ke arah cinta.

Saat saya sadar kalau ayah saya tidak akan setuju jika saya dengan teman laki-laki saya itu nantinya, maka saya menjaga jarak. Menjatuhkan vonis—dengan tidak lagi berkomunikasi atau memutuskan tali sitaurhami—seakan-akan ini kesalahannya karena membuat saya merasa nyaman. Sedangkan dengan teman lainnya saya biasa saja, toh memang saya merasa nyamannya sama dia saja. Jadi buat apa juga saya menjaga jarak dengan yang lain. Hanya saat saya pikirkan ulang, saya merasa kenapa saya terlalu berlebihan menanggapin perasaan semacam ini. Perasaan begini wajar saja saya alami, bahkan sepertinya semua orang pun mengalami.

Maka saya mengambil kesimpulan: Jatuh cinta saja, jodoh urusan belakangan.

Bukannya saya menentang ajaran agama yang saya anut untuk menjaga jarak antara laki-laki dan perempuan. Hanya saja saya mencoba menetralisir perasaan saya sendiri, karena saya tahu cinta itu unik. Semakin kamu mencoba untuk tidak mencintai, maka kamu akan semakin mencintai, pun sebaliknya. Jadi saya mulai menerima perasaan yang tengah saya rasakan. Berdamai dan memerdekakannya.

Benar saja dugaan saya. Cinta itu unik. Saat saya memerdekakan perasaan saya sendiri, saya malah menemukan banyak sekali hal-hal yang bisa dipelajari. Saya tidak hanya merasakan cinta, tetapi lebih dari itu—yang tidak bisa saya jelaskan dengan kata-kata. Yang saya tahu hati saya tidak lagi sekalut dulu. Saya sudah berdamai, dengan diri saya, dan itu menyenangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar