Apa isi
tulisan kali ini?
Sebenarnya
ini lebih ke curhatan. Eh, bukaaan. Ini hanya lebih ke sudut pandang saja.
Tidak ada curhatan seperti bisa (emangnya biasa saya curhat ya?). Oke, oke,
sekarang kita serius. Benaran serius? Maaf, nanti aja deh, kalau saya sudah
cukup umur buat bisa diajak serius. Lho, kok malah ngelantur ya.
Sebenarnya
saya hanya ingin menuliskan sudut pandang saya tentang salah satu hal yang
sudah tidak asing lagi. Yupz, tentang pandangan beberapa orang atau remaja
kalau cinta adalah hal yang salah (ini cinta ke lawan jenis ya maksudnya).
Tidak sedikit, termasuk dulu saat saya masih duduk di bangku umur 17 tahunan,
yang memandang cinta adalah hal keliru.
Harusnya
saya bisa mengontrol hati untuk tidak jatuh cinta. Harusnya saya tidak terlalu
dekat dengan si A biar tidak jatuh cinta. Dan terlalu banyak harusnya lainnya
yang saya kemukakan sendiri, seolah-olah saya menghakimi diri saya sebagai
pihak yang berdosa lantaran jatuh cinta.
Selain
perkara saya jatuh cinta karena merasa terlalu akrab atau sedikit akrab dengan
lawan jenis, padahal tidak juga sih, kadang saya jatuh cinta tanpa dekat, kayak
misalnya lihat oppa-oppa Korea di K-drama, saya bisa saja jatuh cinta, tetapi
urusan pernikahan tentu saya mikir ribuan kali (kayak oppa Koreanya mau ngajak
nikah aja?). Saya juga memegang teguh pesan ayah saya yang memberikan banyak
batasan dan peraturan, terutama kepada anak perempuannya. Kalau saya hanya
boleh menikah dengan pria dari suku ini dan ini, selebihnya tidak boleh.
Lantas
di mana masalahnya?
Tidak
ada masalah, hanya saja saya pernah merasa nyaman dengan salah satu teman
laki-laki saya, yang sudah jelas-jelas jangankan ayah saya, teman-teman lain pun
banyak yang menentang. Padahal ini hanya perasaan nyaman, yang memang mungkin
saja sedikit dominan ke arah cinta.
Saat
saya sadar kalau ayah saya tidak akan setuju jika saya dengan teman laki-laki
saya itu nantinya, maka saya menjaga jarak. Menjatuhkan vonis—dengan tidak lagi
berkomunikasi atau memutuskan tali sitaurhami—seakan-akan ini kesalahannya
karena membuat saya merasa nyaman. Sedangkan dengan teman lainnya saya biasa
saja, toh memang saya merasa nyamannya sama dia saja. Jadi buat apa juga saya
menjaga jarak dengan yang lain. Hanya saat saya pikirkan ulang, saya merasa
kenapa saya terlalu berlebihan menanggapin perasaan semacam ini. Perasaan
begini wajar saja saya alami, bahkan sepertinya semua orang pun mengalami.
Maka
saya mengambil kesimpulan: Jatuh cinta saja, jodoh urusan belakangan.
Bukannya saya menentang ajaran agama yang saya anut untuk menjaga jarak antara laki-laki dan perempuan. Hanya saja saya mencoba menetralisir perasaan saya sendiri, karena saya tahu cinta itu unik. Semakin kamu mencoba untuk tidak mencintai, maka kamu akan semakin mencintai, pun sebaliknya. Jadi saya mulai menerima perasaan yang tengah saya rasakan. Berdamai dan memerdekakannya.
Benar saja dugaan saya. Cinta itu unik. Saat
saya memerdekakan perasaan saya sendiri, saya malah menemukan banyak sekali
hal-hal yang bisa dipelajari. Saya tidak hanya merasakan cinta, tetapi lebih
dari itu—yang tidak bisa saya jelaskan dengan kata-kata. Yang saya tahu hati
saya tidak lagi sekalut dulu. Saya sudah berdamai, dengan diri saya, dan itu
menyenangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar