“Wes toh, muleh!”
“Halah
wong edan.”
“Ke
mana, Mbah? Mau ke atas lagi?”
“Keakehan duit apa gimana, Mbah?”
Gelak
tawa, cemooh juga bisik-bisik dari sela bibir bermunculan setiap melihat Mbah
Nuryo membawa barang-barang aneh dan pergi ke hutan. Wajar saja, siapa yang tak
heran, dalam usia sedemikian senja, Mbah Nuryo masih saja mondar-mandir bukit
sambil membawa cangkul dan bungkusan hitam.
“Hutan
itu hutan tua, dia harus tetap hidup bahkan sampai yang tercipta dari tanah
kembali lagi ke tanah. Bukan tentang siapa pemilik sertifikat tanahnya, hutan
itu sakral. Penghuninya berhak dihormati, dihargai. Atau dia bisa menjadi musuh
besar kita! Mereka bisa memusnahkan kita!” katanya.
---
“Maan!
Dimaan!” suara Mbok Ita melengking tersiar ke langit desa.
“Opoo?”
dengan sigap Diman menjawab.
“Pulang,
mandi! Terus ke langgar sana, ngaji!” oceh Ibu Diman.
Diman
mengiyakan perintah ibunya meski cerita dari bilik bambu ujung desa belum
tamat.
“Itu
rumah Mbah Nur, Bu, bukan rumah setan!” jawab Diman setelah kembali dimarahi
ibunya. Selentingan itu selalu tersebut jelas ketika Ibu Diman melarang ia
bermain dan mendengarkan cerita Mbah Nuryo.
“Jangan
sering-sering main ke sana, temenmu kan banyak! Ya, main sama mereka saja,
bukan sama wong edan!” kata ibunya sembari duduk dan mulai menggosokkan kain
sabun ke piring-piring kotor.
Diman
menunduk diam, bergegas ia mandi dan menuju langgar yang tak terlalu jauh dari
rumahnya. Telinga Diman kembali memanas jika teringat apa yang sering warga
desa gunjingkan tentang Mbah Nuryo—juru ceritanya itu. Diman tak suka ketika
mereka berucap buruk tentang Mbah Nuryo.
Adalah
dua tahun yang lalu ketika kebakaran hebat membabat seisi hutan. Mbah Nuryo
adalah orang pertama yang sadar tentang kebakaran itu karena rumahnya memang
yang paling dekat dengan hutan. Tak jelas muasalnya api, yang ia sadari malam
itu, langit memerah panas merajai rembulan. Masih jelas teriakan siamang,
kepakan sayap burung, grasak-grusuk langkah kijang dan anjing liar berlarian ke
luar hutan. Di depan matanya, hutan itu hangus dibakar si jago merah.
Bagai
dihipnosis, selama dua-tiga jam tak ada satu pun warga yang mendengar suara
kematian itu. Hanya Mbah Nuryo yang kelabakan sendiri. Dibanjiri air mata ia
mencoba mengangkut berember-ember air demi membunuh tuan api. Namun, api tetap
berhasil melahap semuanya hingga tetesan air mata Mbah Nuryo mengering.
Tak lama
kemudian telinga Mbah Nuryo berdenging, kemudian senyap, suara kematian itu
berubah hening, kobaran api itu memaksa bumi untuk mengheningkan cipta sejenak
pada apa-apa yang telah dilahapnya. Sunyi. Mukjizat itu ada, pada saat itu,
turunlah hujan untuk menyelamatkan sisa kehidupan yang tertinggal. Tuhan
menampakkan kuasanya, api yang berkobar itu pun padam sebelum fajar menembus
cakrawala.
Beberapa
bulan setelah kebakaran itu, tali kehidupan seolah-olah memutuskan diri,
bencana demi bencana terjadi silih berganti: banjir, longsor, bahkan letupan
lumpur muncul di tengah bumi. Panen berkali-kali gagal, paceklik terjadi setiap
musim. Sementara warga kesulitan, Mbah Nuryo mulai sering pulang-pergi ke hutan
yang nyaris gundul itu.
Hutan
yang hitam, suram—tanah itu mati. Mbah Nuryo berpindah rumah ke ujung selatan
desa, menjauh dari hutan mati. Ia punya tanah di sana dan gubuk kecil yang
pernah ia buat untuk singgah selepas berladang.
Dari
sanalah gunjingan “edan” itu mulai tersiar. Mereka mulai mengira bahwa ada jin
penunggu hutan yang merasuki Mbah Nuryo, menutup matanya pada desing bisik
warga yang terasa bak tembakan ke telinganya. Ia tak peduli pada ejekan warga
kepadanya.
“Mbah
Nur menyembah jin hutan mati.”
“Iya,
dedemit berbisik dan didengarkan juga sama dedemit.”
“Halah,
wong edan, kok. Pasti nanti kena batunya.”
Jelas
cacian itu sampai ke telinga Mbah Nuryo. Tapi dengan cangkul dan bungkusan
hitam yang dibawanya, ia tak henti melangkah, menapak tanah melewati desa dan
berhenti di hutan mati. Setiap hari Mbah Nuryo mengulangi hal yang sama, tak
kenal lelah.
Dua
tahun penuh Mbah Nuryo mondar-mandir dengan bungkusan hitam, kadang benda itu
begitu besar hingga harus ia bawa dengan karung dan didorong dengan gerobak
kayu, dan mendaki bukit hutan mati. Warga mulai malas mengurusinya, mereka
biarkan saja wong edan itu berkeliaran melintasi desa setiap hari. Mereka tak
peduli apa yang ia lakukan dan apa yang ia bawa.
Selama
dua tahun itu, banjir tak lagi rutin singgah ke desa, tak peduli sederas apa
pun hujan jatuh ke bumi. Pun bencana lain dan panen mereka mulai membaik
meskipun tidak sebanyak tahun-tahun lalu—sebelum terjadinya kebakaran hutan.
Apa ini semua ada hubungannya dengan Mbah Nuryo? Entahlah, bagaimana bisa wong
edan sepertinya berperan pada turunnya musim yang baik?
Seperti
kata bijak, tak ada kesia-siaan pada niat yang baik.
Benar,
isu sekongkol pada dedemit itu mulai redup. Dapatkah yang berhati berteman pada
yang tak berhati? Bukan pasal Mbah Nuryo pandai mengaji dan tak tinggal salat,
bukan pula pasal ia yang enggan berbincang pada warga, tapi karena mereka tak
melihat hal gila lain yang dilakukan Mbah Nuryo—khususnya yang mengganggu
warga.
Seluruh
hidupnya ia persembahkan pada kematian hutan itu. Semua rintangan ia abaikan
demi seribu nyawa yang harus hidup. Dan seiring dengan kembalinya kehidupan
normal warga di desa, mereka mulai melupakan Mbah Nuryo dan ke-edan-annya.
Tapi,
apakah hal baik ini bisa bertahan lama, di antara nyanyian dan tawa riang, di
antara hening damai. Bagaimana jika separuh hidup yang ia persembahkan untuk
mengembalikan nyawa hutan mati itu dibabat habis lagi? Bukan oleh api,
melainkan dari manusia pendosa yang bersekutu dengan setan, jin, dan iblis.
Akankah tangis kematian itu terdengar lagi?
Tapi ia
tetap percaya, tak ada yang sia-sia, tak akan pernah ada.
---
“Pak,
ini kopinya,” ucap Suti, perempuan yang bersedia kupersunting sekian tahun lalu
itu, membangunkan lamunanku.
“Terima
kasih,” balasku.
Kulanjutkan
cerita ini dengan satu hirupan kopi pahit yang masih hangat. Apa lagi yang
harus kupaparkan? Aku di sini, menatap hutan dan desa yang pernah menganggap Si
Edan sebagai sekutu setan. Kini, ke-edan-an itu malah dihargai.
Hutan
mati itu sudah bernyawa kembali. Warisan Si Edan yang harus dijaga untuk
mempertahankan kehidupan yang baik. Ah, semoga saja tangan dan nyawaku cukup
kuat untuk menjadi edan seperti Mbah Nuryo.
Bungkusan
hitam itu serupa nyawa yang membangun kehidupan pada hutan mati, daunnya
mengintip di sela bungkus, akarnya menembus dalam ke tanah, lebih dalam dari
celurit yang melukai hati Mbah Nuryo sekian tahun yang lalu. Bungkusan
hitam—atau terkadang karung—yang berisi bibit, tanaman atau pepohonan muda yang
segar, yang malah membuat Mbah Nuryo disebut-sebut sebagai penyembah jin.
Saat itu
tahun 1987, ingatku sambil melihat album lama. Hutan itu, tawa dan cemoohan
itu, dan Mbah Nuryo, perpaduan rumit yang menyelamatkan desa dari paceklik.
Kini, setelah 29 tahun, semoga hutan itu masih kuat, semoga tetap menjadi
perlindungan bagi pepohonan hijau yang sejuk.
Angin
mengayunkan rambutku, aku tersenyum getir, ada rasa takut, namun tak kurang
pula harapan.
“Mbah
Nuryo edan!” hatiku berbisik, disambi hirupan kedua pada kopiku.(*)
Lubuklinggau,
4 April 2016
0:25,
bersama Almarhum Mbah Nuryo—di sampingku
Biodata:
Sunita
Kasih, menetap di kota Lubuklinggau, penyuka bulan April dengan secangkir teh
melati juga seporsi pengalaman renyah yang dituliskan dengan hangat. Fb
: sunita kasih ig: sunitakasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar