Rabu, 14 November 2018

Joni

Aku melepas kopiah dan menggunakannya untuk berkipas-kipas sebab di luar cuaca sangat panas, membujurkan kaki dan bersandar ke tembok. Tak terasa bulan puasa sudah hampir sampai di penghujung saja. Membuatku kembali mengingat riuh saat kita masih anak-anak, Mur.

Kau ingat, Joni, anak tetangga yang rumahnya bersebelahan dengan rumahku. Dia anak berambut ikal yang juga ikut mengaji di surau Kiai Rozaq. Ah, sayangnya dia hanya dua tahun tinggal di kampung ini, tapi meski begitu tak bisa kulupa betapa asyiknya anak itu.



Dia, Joni, anak yang sering emaknya teriakan setiap kali nangkring di atas pohon jambu Pak Sobar, juragan empang yang meninggal setahun lalu, sama sepertimu, Mur.

Kau tentu tahu ‘kan, kenapa Joni ada di atas pohon jambu itu? Ya, kita semua tahu kalau Joni malas sekali pergi ke surau dan mengaji. Dia lebih suka menggoda anjing di ujung jalan yang lehernya terantai.

Mengingat semua itu saja aku sudah geleng-geleng kepala. Sungguh, tak ada habisnya jika aku harus menceritakan tentangnya yang pandai sekali buat masalah. Mungkin emaknya juga hanya bisa beristigfar menghadapi Joni yang berbeda jauh dengan Sekar, adiknya yang sering dikepang dua itu.

Bulan puasa kedua saat dia tinggal di kampung ini, untuk pertama kalinya kita berteman dengannya. Emakku tentu selalu melarangku bermain dengan Joni, takut aku ketular bandel katanya. Dan benar saja, kita semua tentu merasakan masa-masa yang berbeda di bulan puasa tahun itu, ‘kan?

Saat itu, saat Kiai Rozaq telat datang ke surau, Joni yang duduk bersila mungkin panas bokongnya karena harus diam menunggu Pak Kiai datang. Dia mulai mengangkat salah satu kakinya, pun sarungnya yang tidak terpasang rapi dilepas dan diselempangkan ke pundak kiri.

Haha … aku hampir tertawa terbahak-bahak mengingat bagaimana ekspresi kita siang itu. Bagaimana tidak, Joni wajahnya sudah pucat dan lemas seperti hampir mati menunggu azan asar yang masih satu jam lagi. Dia bangkit selepas menyelempangkan sarungnya, beranjak ke sumur, mau cuci muka sepertinya biar tidak mengantuk.

Aku mengikutinya bersamamu, cuaca yang masih sangat panas meski sudah jam 2 siang rupanya membuat wajahku begitu berminyak, sehingga kita memutuskan untuk ke sumur bersama-sama tak lama setelah Joni. Dan terkejutlah aku mendapati anak berambut ikal itu sedang berwudu. Astagfirullah … berbohong sudah aku mengatakan seperti itu. Tidak! Joni hanya berkumur-kumur, membasuh muka, dan kaki. Dia bahkan tidak membuang airnya saat berkumur melainkan menelannya.

“Kau tidak puasa, Jon?” tanyamu kala itu. Kau tidak mengerti akan Joni, begitu pun aku.

Joni berdehem, berdiri tegap dengan dada yang sengaja dibusungkannya, berlagak seperti orang penting yang kadang kita lihat di rumah Pak RT. Ah, aku lupa, sama seperti mereka, Joni juga berasal dari kota, tentu saja dia pasti punya sudut pandang berbeda dengan kita yang sejak orok selalu di desa. Apalagi ayah Joni sering pulang pergi dengan berkendara mobil dan berpakaian rapi, juga memakai kacamata hitam, membuatku terus berandai-andai ingin seperti beliau kalau sudah besar nanti.

“Aku puasa,” jawab Joni lantang.

“Tadi kau minum, ‘kan?” tukasku.

Joni melotot, berkecak pinggang dan mengangkat dagunya. Dia bersikukuh kalau tidak minum, hanya berkumur-kumur saja. Dia juga menipu kita yang masih terlalu lugu, atau mungkin bodoh sehingga percaya kalau yang dia lakukan barusan tidak batal. Haha … kau ingat, Mur? Kita bahkan juga mencobanya gara-gara terperdaya ucapan Joni. Dan kita dapati puasa kita batal setelah bertanya kebenarannya pada Kiai Rozaq, bahkan emakku memutuskan kesepakatan kalau aku bakal dapat sepeda baru jika bisa puasa sebulan penuh. Dasar si Joni! Benar-benar itu anak.

Dan untuk bagian ini, tentu saja kau pasti ingat jelas, Mur. Joni yang bilang menyesal kemudian mengajak kita untuk salat tarawih di masjid kampung sebelah. Aku, kau, Somad, juga Jupri, kita berempat mengenakan baju kokoh juga sarung yang paling bagus sesuai saran Joni, biar tidak mempermalukan kampung kita kalau pakai sarung yang jelek di tempat orang. Astaga … ternyata lagi-lagi itu hanya akal-akalan si Joni saja. Dia tidak sungguh-sungguh mengajak kita salat, melainkan tawuran.

Matamu yang sipit malam itu memerhatikan gerak tangannya saat mengikat kencang ujung sarung yang bakal kita jadikan sebagai alat tempur, perang selepetan-lah kira-kira. Haha … dusta kalau aku bilang aku tidak menyukainya, karena setelah malam itu kita sering melakukannya dengan anak-anak kampung sebelah, menunjukkan siapa yang paling hebat. Kita juga merahasiakan soal itu kepada saudara perempuan, terutama orang tua kita, menjadikannya rahasia untuk para lelaki. Dan karena itu setiap malam kita selalu bersemangat saat pamitan dengan dalih ingin salat tarawih, padahal tentu perasaan kita dipenuhi api yang membara bak ingin pergi ke medan perang.

Entah apa benar kata emakku atau bagaimana. Apa aku sudah menjadi anak bandel atau hanya memburu masa anak-anak dengan sesuatu yang baru. Tapi yang jelas, bagiku kehadiran Joni sudah membawa suasana yang berbeda untuk kita, anak-anak desa yang hanya tahu sekolah, surau, juga kebun atau sawah saat libur, yang mana di luar semua itu tentu kita juga pasti bermain sepuas hati.

Mur, kau tahu tidak, tadi, aku bertemu Joni saat mengantar anakku sekolah. Itu sebabnya aku menceritakan tentangnya sembari memegang fotomu. Dia yang terus membual ingin menjadi tentara, bintang film, penyanyi, pembalap, dan terutama ketika dia berdiri di dipan depan warung Mang Usup sambil berkata, “aku akan jadi presiden, dan akan aku angkat kalian semua jadi menteri nanti!”

Kau tahu jadi apa dia sekarang? Tidak, Mur! Dia tidak menjadi satu di antara semua cita-citanya saat itu. Aku bahkan terkejut melihat penampilannya tadi. Dia … anak berambut ikal yang hobinya nyolong buah mangga Mak Siti, nangkring di atas pohon jambu Pak Sobar, dan ganggu anjing di ujung jalan itu, kini sudah menjadi seorang ustaz.

Aku hampir-hampir tak mengenalinya barusan, pun begitu malulah aku saat tahu kalau anakku, si Wati dan Udin, sudah dua tahun belajar mengaji dengannya. Dia dipanggil Ustaz Ahmad oleh murid-murid mengajinya, mungkin sebab itulah aku tidak tahu kalau itu Joni. Aku baru ingat sekarang, anak bertubuh kurus itu memiliki nama lengkap Ahmad Joni. (*)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar