Jumat, 25 Mei 2018

Maling


Kali ini Pak Sobar tidak bisa berkata apa-apa, dia hanya diam mematung menatap kamarnya yang berantakan, pun laci-laci tempatnya menyimpan perhiasan terbuka lebar. Wajahnya tertekuk. Tangannya yang nampak jelas urat-urat yang timbul kini tengah menopang dagunya, pun tangan yang satu terus saja memijit jidatnya hingga terlihat berkerut juga mengencang seketika.

“Bagaimana ini, Pak?” tanya Bu Sri, istrinya.


Pak Sobar diam saja, ia tidak tahu harus berkata apa saat ini. Hartanya yang sudah banyak ia kumpulkan mendadak ludes dalam waktu semalam.

“Pokoknya Bapak harus kerja lebih keras lagi mulai sekarang. Kumpulkan semua itu dari awal.”

“Kamu bisa diam ndak, Bu?” bentaknya.

Bu Sri yang sejak tadi duduk di samping Pak Sobar juga menarik-narik tangan suaminya itu langsung tutup mulut. Dia sudah hafal watak suaminya yang akan mengamuk tak keruan jika saja ia masih terus bercuap-cuap.

“Aku bakal kerja lagi nanti malam.” Pak Sobar langsung bangkit, beranjak meninggalkan kamarnya. Namun tepat di depan pintu, langkahnya yang sedikit pincang terhenti. “Kamu jaga rumah baik-baik, jangan sampai kemalingan lagi.”

“I—iya, Pak.”

***

Seperti yang Pak Sobar janjikan pada istrinya. Dia masih tetap bekerja meski habis kemalingan. Baginya bersedih itu tidak berguna. Lebih baik dia mencari pundi-pundi uang agar bisa makan dan hidup. Lagi pula buat apa juga dia bersedih dan murung, toh dia masih punya dua orang anak di kampungnya yang harus dibiayai untuk keperluan sehari-hari juga sekolah dan mengaji.

“Bapak berangkat dulu, Bu,” pamitnya setelah selesai mengikat tali sepatu.

Bu Sri menatap raut wajah suaminya yang sudah tak sekusut tadi pagi. Memerhatikan kemeja Pak Sobar yang seperti biasa dimasukan ke dalam celana, juga gesper yang melingkar. Suaminya selalu suka kerapian. Pak Sobar juga lebih suka memakai sepatu saat bekerja.

“Hati-hati Pak. Jangan sampai luka-luka lagi,” pesan Bu Sri.

Tanpa menjawab apa-apa, Pak Sobar menghela napas. Bangkit dari kursi plastik yang tadi didudukinya, lantas berangkat bekerja dengan harapan dia bisa mengganti semua kerugiannya kali ini segera, karena lebaran sebentar lagi akan tiba dan butuh biaya banyak untuk pulang kampung.

Ia yang baru berjalan sebentar kini berhenti di pos ronda. Menatap pentungan juga lampu jalan yang tak menyala seperti malam sebelumnya.

“Ah, buat apa bayar listrik kalau lampu jalan malah menyala siang hari dan mati saat malam. Merepotkan saja,” keluhnya guna menghilangkan rasa frustrasi yang sejak pagi terus hinggap di pikrannya.

Sebenarnya ia bukan sudah merasa baikan. Pak Sobar hanya tak ingin istrinya khawatir dan semakin banyak bicara jika tahu suasana hatinya yang sebenarnya. Itulah yang membuat Pak Sobar mau tidak mau harus tetap pergi bekerja juga malam ini. Padahal ia bisa cuti dan tidur lebih awal setelah seharian tadi bekerja sampingan sebagai kuli panggul di pasar.

“Baiklah, sekarang ke rumah Haji Shodiq saja,” serunya dengan napas berat. “Siapa tahu di sana bisa dapat rezeki lebih banyak daripada di rumah Pak Hartono.”

***

Bukannya disambut dengan senyum manis dan secangkir kopi panas, Bu Sri malah bermuka masam.

“Kalau kita pulang ndak bawa uang banyak, maka kita bukan apa-apa di kampung. Ndak bakal ada yang hormat. Mbah Retno juga gak akan mau jaga Surti dan Paijo kalau bukan karena dikirimi uang lebih,” keluh Bu Sri.

Pak Sobar menghela napas. Duduk di sofa dekat pintu sambil melepas tali sepatunya. Sesekali matanya melirik Bu Sri yang masih saja sibuk ngedumel. Tanpa perlu dijelaskan pun dia juga tahu seperti apa orang-orang di kampung. Ia tidak pernah ambil pusing, hanya istrinya saja yang selalu ribut setiap kali ia pulang membawa sedikit rezeki.

“Aku mau tidur dulu, Bu,” ucap Pak Sobar setelah selesai membasuh kedua tangan dan kakinya juga memcuci muka.

“Tapi, Pak ….”

“Nanti bangunkan jam 11. Stok barang bakal datang lebih awal.”

“Kalau Bapak kerja jadi kuli panggul terus, kapan uang kita bisa kekumpul? Ambil saja sedikit stok di gudang biar bisa kita jual buat tambah-tambah pemasukan.”
Pak Sobar yang baru saja merebahkan diri di kasur langsung kembali duduk. Bagaimana ia bisa tidur jika istrinya terus bicara melantur seperti itu setiap kali ia pulang dengan membawa sedikit uang.

“Istighfar, Bu,” serunya.

“Bentar lagi lebaran, Pak,” sahut Bu Sri dengan nada tinggi, “Uang dan perhiasan yang kita kumpulkan susah payah juga kemalingan.”

“Haji Shodiq baru pulang umrah, jadi gak bisa bagi uang banyak.”

“Kalau gitu lapor Pak RT aja soal perhiasan Ibu dan juga uang-uang Bapak yang kemalingan itu. gimana?”

Lengang. Pak sobar hanya bisa mengusap wajahnya saking frustrasi dengan ucapan-ucapan aneh yang tak hentinya dilontarkan Bu Sri.

“Ibu mau bilang apa ke Pak RT?”

“Ya bilang kalau kita kemalingan!”

“Kemalingan apa?”

“Perhiasan juga uang kita yang udah berjuta-juta, toh, Pak.”

“Terus mau jawab apa nanti kalau Pak RT tanya perhiasan dan uang dari mana, sedangkan Bapak cuma kuli panggul di pasar?” Bu Sri terdiam. “Ibu mau bilang kalau perhiasan dan uang hasil Bapak nyuri tiap malam digondol maling?”

Bu Sri menggaruk-garuk kepalanya, menelan ludah, lantas pergi ke dapur. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar