Minggu, 11 Maret 2018

Berani Jatuh Cinta, Berani Patah Hati!


Banyak anak muda—terutama di kalangan remaja—yang sering kali merasa hampa saat putus cinta. Lantas apa dunia akan berakhir hanya karena selembar kisah itu sobek? Tentu saja tidak. Masa depan masih membentang dan terlalu sayang jika berakhir dikarenakan hal sepele.
Apa jatuh cinta itu salah?

Tentu tidak. Tak ada yang menyalahkan kita karena jatuh cinta. Cinta itu fitrah, dan semua orang pasti akan merasakannya.

Terus di mana salahnya?



Yang salah adalah, ketika kita malah menjatuhkan hati sejatuh-jatuhnya, padahal status pun belum jelas. Yang sudah pacaran bertahun-tahun saja belum tentu akhrinya menjadi pasangan sah. Lalu apa yang mau diharapkan dari seseorang yang bukan siapa-siapa? Sebatas pacar yang tidak berlabel di mata hukum dan masyarakat. Apa ada jaminan bakal langgeng? Belum tentu.

Hanya saja, sekarang anak-anak muda terlalu sibuk pacaran. Mereka menganggap cinta adalah segalanya. Dan bisa saja saat mereka patah hati maka mereka malah jatuh pada lubang yang dibuatnya sendiri, lantas bertanya bagaimana caranya keluar. Dan begitu seterusnya.

Lantas apa tidak boleh jatuh cinta?

Silakan! Itu kan hak siapa saja. Dan lagi, saya tidak melarang siapa pun untuk jatuh cinta, karena saya sendiri juga pernah merasakannya. Atau mungkin masih merasakannya sampai saat ini. Hehe...

Dan sepertinya persoalan bagaimana mengobati hati yang patah biarlah menjadi urusan masing-masing. Karena setiap orang punya cara dan jangka waktu yang berbeda. Kita tidak bisa memaksa seseorang untuk masalah ini. Toh sama saja, mau dipaksakan seperti apa, yang namanya hati ya tetap hati. Mereka yang lebih tahu perihal rasa.

Hidup ini beragam. Ketika putus cinta, ada orang yang terlalu larut dalam kesedihan, tetapi ada pula yang dalam sekejap sudah kembali ceria. Bahkan ada yang hari ini patah hati, besoknya sudah gandeng yang baru lagi.

Nah, kenapa bisa begitu? Kenapa ada orang yang dengan mudah bisa melupakan sakit hatinya?

Rasanya berbagai argument mulai terbentuk begitu saja. Semisal; mungkin cintanya tidak terlalu dalam. Mungkin cuma main-main aja. Atau mungkin cuma coba-coba. Kalau cintanya biasa aja ya gak akan tahu sakitnya patah hatilah!

Bisa jadi beberapa alasan di atas ada benarnya. Tapi … bagiamana jika mereka berada pada ukuran cinta yang sama? Maksudnya mereka mencintai dengan tulus—mantan—pasangan mereka. Apa alasan seperti itu masih berlaku?

Hehe … membahas hal seperti ini selalu terasa lucu dan menyenangkan. Karena saya pribadi seakan dapat melihat setiap ekspresi berbeda dari orang-orang yang membaca artikel ini. Dan mungkin sudah terasa menyebalkan untuk dilanjutkan. Tapi baiklah, saya akan melanjutkannya sedikit, dan semoga saja bisa bermanfaat.

Sebenarnya itu semua terjadi karena keinginan dari dalam diri kita sendiri. Apa kita mau bangkit atau tetap berpusat di satu titik tersebut. Karena saat kita memilih bangkit, maka hal sesulit dan sesakit apa pun tidak akan jadi penghalang untuk kita tetap melanjutkan hidup, mengisi lembaran demi lembaran baru. Tentu dengan kisah yang baru juga.

Tapi beda lagi kalau kita tidak memiliki sedikit pun keinginan untuk bisa bangkit dari keterpurukan. Maka seberapa banyak nasihat-nasihat bijak yang kita dengar, dan bagaimana kita memburu waktu hanya untuk merasa lebih baik, kita akan tetap terkurung dalam kesedihan.

Coba deh ubah mindset kita! Biasakan melakukan hal yang bermanfaat: berpikir, membaca, mendengar, dan mengerjakan sesuatu yang bersifat positif. Seperti pergi menghadiri majelis ilmu atau membaca buku-buku berbau islami agar lebih dekat pada Tuhan, berkumpul dengan teman-teman sekedar berbicang sebagai sarana mempererat tali silaturrahmi, dan lain-lain. Jangan saat galau malah muter-muter lagu mellow dan nangis-nangis gak jelas sendiri. Biar apa itu? Bisa ngelupain doi? Salah. Yang ada itu malah jadi salah satu jurus paling jitu buat kita mengingat semua kenangan yang sebaiknya dibiarkan berlalu.

Tidak ada yang salah jika kita masih teringat dia, rindu, bahkan kita masih terus lihatin fotonya. Ya … oke-oke aja sih. Lihatin terus tiap waktu! Lihat sampai kamu bosan! Lihat sampai kamu terbiasa dengan sosoknya yang—perlahan—mulai tidak berarti apa-apa lagi. Mau nangis? Silakan! Nangis yang kapan pun kamu mau! Nangis sesering mungkin sampai rasanya kamu mulai capek nangisin hal yang itu-itu aja.

Tapi ingat! Ada saatnya kamu bangkit dari semua luka itu. Tidak ada yang salah dalam mengekpresikan diri. Hanya jangan sampai kamu malah nyiksa diri sendiri dengan bertindak bodoh dan gegabah. Belum tentu dia juga kaya gitu. Bisa jadi, kan, dia malah sibuk sama yang lain. Atau mungkin dia sibuk bebenah diri untuk jadi lebih baik.

Terus kenapa kamu malah diam di tempat dan makin urak-urakan dari hari ke hari? Apa gak sayang sama waktu yang terus terbuang percuma? Kalau dipikir-pikir sayang juga, kan?

Jadi jatuhlah! Tapi tetap ingat untuk bangkit. Sesuatu itu butuh niat dan juga usaha. Bukan cuma sibuk menyalahkan takdir dan mengeluh setiap hari, lantas mau jadi baik secara instan. Bahkan akan sangat lucu jika kamu berharap bisa mendapat yang terbaik dengan kualitas diri di bawah rata-rata. Haha … ini bukan bentuk penghinaan, tapi baiknya renungin sendiri deh! Kali aja memang benar kaya gitu.

Perlu diketahui bahwa orang-orang yang bijak lahir dari setumpuk masalah, atau malah lebih banyak dari itu. Mereka bijak bukan karena mereka memiliki otak cerdas dan memiliki daya tanggap yang luar biasa. Tapi karena mereka mau belajar dari pahitnya hidup. Entah dari kehidupan mereka sendiri atau orang lain.

Bagi mereka, tidak peduli seperih apa takdir mengukir jalan kehidupan mereka, maka mereka akan tetap berdiri kokoh. Berjalan meski tanpa kaki. Karena apa? Karena mereka tahu, hidup itu adalah tentang belajar dan belajar. Tidak ada tempat bagi orang-orang yang mudah menyerah dan berputus asa di masa depan, karena tempat mereka akan selalu berada di balakang. Hanyut bersama kenangan-kenangan yang mengikat mereka setiap waktu. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar