Kamis, 04 April 2019

Rendra dan Kisah yang Larut di Cangkir Biru

Mama menusuk Papa dengan pisau kecil yang biasa digunakannya untuk memotong batang bunga. Aku tak berkata-kata, menyaksikan adegan itu dari kolong meja di dapur. Pantatku menempel di lantai, kedua kakiku ditekuk dengan tubuh merapat dan tangan yang memeluk erat kakiku sendiri seperti aku sedang melipat diriku sekecil mungkin.

Aku masih bisa merasakannya, mimpi itu selalu datang di setiap malam sampai kini usiaku menginjak angka 17. Dalam hidup, kurasa aku tak pernah punya Papa. Pria berengsek itu selalu datang untuk menyakitiku dan Mama. Dia tak pernah basa-basi setiap kali hendak meminta bahkan menguras seluruh uang hasil kerja Mama. Berjudi, berjudi, dan berjudi terus yang dikerjakannya setiap hari, sisanya dipakai untuk minum-minum, tidur, makan, dan memukuli kami. Jadi, kupikir keputusan Mama untuk membunuh Papa adalah sesuatu yang tepat meski, saat aku pikirkan lagi, bajingan pun punya hak untuk hidup.

“Kamu masih membencinya?” tanya Rendra, seorang pria berwajah tirus yang usianya 20 tahun lebih tua dariku.

Aku mengangguk. Membenarkan apa yang diucapkan Rendra tanpa sedikit pun memberikannya kesan, bahwa aku tak membenci Papa karena menyukai hal tersebut. Aku tak pernah berniat membawa diriku sebagai pihak yang benar atau tersakiti, lantas memintanya berada di posisiku dengan membayangkan kalau jika dia tahu betapa berengseknya Papa, mungkin dia juga akan membencinya sama sepertiku.

“Lalu, bagaimana dengan Mama?”

“Aku tidak tahu,” jawabku singkat.

Rendra mengangguk. Dia tidak menguliahiku atau memberi tausyiah dadakan. Dia hanya menyodorkan sebungkus cokelat yang baru saja disobeknya. “Makanlah, mungkin perasaanmu akan lebih baik setelah memakan sesuatu yang manis.”

Aku tersenyum. Senyum yang jarang aku tunjukkan kepada siapa pun. Senyum yang entah bagaimana bisa membentuk diriku yang baru, dan aku mendapatinya setelah mengenal Rendra. Tak ada mimpi buruk, tak ada air mata, dan tak ada ketakutan kalau-kalau Papa datang menyakiti kami meski di kematiannya sekalipun. Aku sudah merasa jauh lebih damai sekarang.

***

Pagi ini Rendra mengantarkanku ke sekolah. Kantor tempatnya bekerja kebetulan searah dengan sekolahku sehingga mulai sekarang aku akan lebih sering bersamanya. Tidak jarang juga, ketika ia menjemputku pulang sekolah di sorenya, ia akan mengajakku mampir ke kafe yang tak jauh dari rumahku. Mentraktir secangkir kopi dan muffin rasa blueberry kesukaanku. Sebenarnya … dibanding muffin, aku lebih menyukai Rendra. Mama juga suka jika aku akrab dengannya. Ah, pria itu sempurna dibanding teman-teman sebayaku di sekolah. Dia punya kepribadian yang hangat, sangat dewasa, dan memiliki selera humor yang bagus. Dia sering menceritakan hal-hal lucu kepadaku, atau menceritakan tentang Shehrazat dan Raja Shahryar juga kisah 1001 Malam.

“Kenapa 1001 Malam?”

“Karena kisah terus berlanjut di malam-malam berikutnya.”

“Apa Shehrazat sangat suka bercerita?”

“Jika dia berhenti menyuguhkan cerita menarik, maka dia akan mati seperti gadis-gadis Persia lainnya. Itu jalan baginya untuk menangguhkan kematian.”

“Lalu apa dia mati?”

“Kopimu akan dingin nanti,” ingat Rendra.

Aku mengangguk. Menatap ke bawah pada muffin blueberry dan mengupas kertasnya, mencubit sedikit lalu mencelupkannya ke kopi sebelum memakannya. Sedangkan di depanku, Rendra duduk dengan santainya, menikmati secangkir kopi di hadapannya dengan menghirup aromanya terlebih dahulu.

“Kamu ingin tamasya?” tanyanya di suatu pagi yang cerah.

Senyumku mengembang seketika dan kepalaku mengangguk cepat. Aku sangat ingin bertamasya. Menghabiskan hari dengan duduk di tikar di sebuah tanah lapang yang dipenuhi rerumputan hijau juga ada bunga-bunga: mawar, anggrek, dan lili. Kemudian di sampingku ada keranjang rotan berisi roti selai kacang, jus jeruk, dan buah apel. Itu akan jadi hari yang sangat menyenangkan.

“Baiklah, Mama akan menyiapkan semuanya kalau begitu,” sahut Mama tak kalah senang setelah melihatku tersenyum.

Hanya dalam waktu setengah jam, semuanya telah siap. Rendra duduk di depan kemudi mengenakan kaus lengan pendek garis-garis berwarna kuning dan biru, di tangan kanannya melingkar jam tangan berbahan stainless steels. Rambutnya rapi disisir ke belakang. Wajahnya seperti biasa selalu tampak berseri-seri, dan aku sangat menyukai lesung di pipinya.

“Kita sudah sampai,” ucapnya membuyarkan lamunanku. Aku mengangguk, membuka pintu mobil dan turun sembari menjinjing keranjang rotan. Sedangkan Rendra membukakan pintu untuk Mama setelah keluar dari mobil.

Mama melingkarkan tangannya di tanganku, tersenyum cerah secerah pagi ini sambil mengajakku untuk memilih tempat menggelar tikar di atas rerumputan hijau dan dekat bunga-bunga. Di belakangku, Rendra menyusul, mengambil alih membawa keranjang rotan yang tadi kujinjing dengan kedua tangan. Kami hendak menuju tempat yang dipenuhi rerumputan hijau dan bunga-bunga, meskipun tak ada bunga anggrek dan lili.

***

Aku menyandarkan punggungku ke bangku, mengabaikan cangkir biru yang isinya sudah tak panas lagi. Aku kembali teringat tentang Rendra.

Hari itu … saat kami bertiga—aku, Rendra dan Mama—bertamasya, untuk pertama kalinya, di pagi yang cerah seperti pagi ini, aku menyadari satu hal. Segera aku menepis perasaanku, meyesap kopi di cangkir biru tanpa menghirup aromanya terlebih dahulu seperti yang biasa aku lakukan—meniru Rendra. Lantas memasukkan buku berjudul The Arabian Night ke dalam tas selempangku dan pergi meninggalkan kafe. Memotong trotoar, dan menyusuri jalan menuju kampusku.

Rendra, pria berwajah tirus yang usianya 20 tahun lebih tua dariku. Sejak semula dia adalah milik Mama, bukan aku. (*)

Jakarta, 5 September 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar