Aku menurunkan beberapa tumpukan dus, membongkarnya. Aku yakin kalau telah menyimpan sepatu roda berwarna abu-abu itu di salah satu dus dan meletakkannya di sini bersama barang-barang tak terpakai lainnya. Membuatku terus mencari dan melepas selotip yang merekat pada tiap-tiap dus yang mengunci rapatnya.
“Ah, ternyata memang benar ada di sini,” gumamku setelah menemukannya di dalam sebuah dus mi instan yang terbungkus rapi oleh koran.
Tak lama setelah memisahkan sepatu roda itu dan merapikan dus-dus hingga tersusun seperti semula, aku langsung bergegas menuruni anak tangga kecil yang terbuat dari kayu sebagai pijakannya, dan tambang untuk menyambung tiap-tiap kayu. Hingga cahaya bulan yang menyorot ke jendela berbentuk segitiga terpantul pada sebuah benda, berkilau. Aku menghentikan langkahku pada anak tangga keempat dari atas, tubuhku yang baru keluar sepinggang kini mematung. Memicingkan mata, lantas kembali menaiki anak tangga kayu ini dan memeriksa sebuah benda berkilau tadi.
Aku berjalan pelan, memastikan sorot mataku tak melepas pandangan pada benda berkilau itu, melewati tumpukan dus yang aku geser sedikit dengan tangan dan kaki, lalu menghampiri sudut loteng yang hampir dekat dengan jendela kecil. Menyibak beberapa benda seperti tumpukan koran, buku, juga sebuah dus yang sempat menghalangiku untuk mengambil benda kecil yang bersembunyi dan menyelinapkan diri pada celah kayu yang renggang.
Ya,
seperti dugaanku sebelumnya. Benda berkilau itu adalah kalung dengan liontin
berbentuk hati. Aku mengambilnya, kemudian menggeser sebuah kursi kecil yang
juga ada di loteng. Duduk sembari memandangi benda yang sudah lama sekali aku
lupakan, atau mungkin aku malah mencarinya di dasar alam bawah sadarku. Ada
sesuatu yang istimewa dengan kalung itu. Sebuah kenangan tentang akhir musim
panas yang kemudian berganti dengan ditandai turunnya satu per satu tetes air
dari langit.
Waktu
itu, tepatnya pada awal bulan Juli atau mungkin akhir bulan Juni, itu
berlangsung lima belas tahun lalu. Aku menatap seseorang yang sama sekali tidak
asing bagiku. Gadis itu mengenakan seragam seperti anak-anak perempuan lainnya,
menyandarkan punggungnya ke bangku dan tangannya tengah memainkan pensil 2B
yang baru diraut. Aku yang duduk paling belakang hanya bisa memandangi separuh
wajahnya yang kini sedang menyunggingkan senyum tatkala ia berbincang dengan
seseorang di sampingnya.
Jauh
sebelum rutinitas gila ini aku lalukan—memandanginya setiap jam istirahat, aku
juga sudah sering mencuri pandang padanya selama dua tahun belakangan. Melirik
setiap kali ada kesempatan, bahkan terkadang aku tertangkap basah oleh
temanku—yang sempat dicintainya. Ah, seluruh anak di kelas, bahkan di sekolah,
mereka sudah tahu tentang perasaanku ini. Bahkan dia juga sama. Hanya saja
entah kenapa gadis berlesung pipi itu tak pernah melirik sekalipun padaku. Dia
sekadar menganggapku sahabat, tidak lebih dan tidak kurang. Namun aku rasa
tidak untuk kali ini. Aku sudah menunggu terlalu lama.
“Bagaimana?”
tanyaku gemetar setelah mempertanyakan kesetujuannya.
Dia
menundukkan kepala. Itu adalah reaksi pertama yang biasa dilakukannya setiap
kali ada teman-teman lelakiku yang menyatakan cinta kepadanya. Aku tahu seperti
apa dia, juga peraturan keluarganya. Tapi … tidak ada salahnya, bukan, jika aku
berpacaran dengannya.
“Bukannya
kamu sudah tahu?” ia balik bertanya kepadaku.
Aku
mengangguk. Jelas sekali aku sudah tahu. Bukan hanya tahu tentang peraturan
yang melarang gadis berkerudung itu berpacaran, tapi juga tahu kalau
pertanyaannya lebih mengarah kepada, "aku tidak mencintaimu," begitulah kira-kira.
“Tidak
apa-apa, kita bisa menjalaninya dulu. lagi pula kita tidak melakukan hal yang
aneh-aneh—maksudku bergandengan atau lebih dari itu.”
“Kalau
begitu kenapa tidak bersahabat saja seperti biasa?”
Deg!
Mungkin
jika aku memikirkan itu secara sekilas, aku akan setuju. Tidak ada yang salah
dengan berteman, kami sudah cukup akrab sejak duduk di bangku sekolah dasar,
pun begitu tetap dekat setelah melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya.
Kami bersahabat sejak enam tahun lalu.
Aku
menyadari kalau aku mulai terbiasa dengan semua itu. Menjadi sangat dekat
dengannya meski hanya sebatas sahabat bukanlah perkara yang sulit. Tapi tidak
lagi sejak setahun lalu, saat aku tahu dia menyukai seseorang yang baru
dikenalnya setelah hari ketiga MOS, pun sebaliknya, lelaki itu juga
menyukainya. Pertanyaan demi pertanyaan mulai bergentayangan, memaksa otakku
untuk terus berpikir kenapa dia bisa begitu cepat jatuh cinta pada seseorang
yang baru dikenalnya. Sedangkan aku, kami sudah saling mengenal hampir sebelas
tahun lamanya, dia juga mengatakan aku lelaki yang baik. Tapi, kenapa?
“Kita
sudah menjalani itu sangat lama, dan aku sudah sering mengatakan isi hatiku.
Jadi … aku pikir aku ingin sesuatu yang lain,” ucapku yang mengalir begitu saja
tanpa bisa kucegah.
Dia
mengangguk. Berkata akan memikirkannya dahulu selama beberapa hari. Aku
menyetujuinya, menunggu dengan sabar. Melihatnya setiap hari di kelas.
Tersenyum kepadanya jika kami berpapasan. Pun begitu kami tetap bisu.
“Baiklah,”
jawabnya singkat.
“Ma—makudnya?”
“Baiklah,”
ulangnya.
“Jadi …?”
Dia
mengangguk, lantas langsung keluar kelas dan pergi ke kantin. Meninggalkanku
yang tersenyum mengembang dan tangan terkepal kuat karena menahan tawa.
Berlompat satu-dua kali, kemudian duduk dengaan tingkah yang serba salah.
Setiap
hari, setelah kejadian itu, berjalan dengan indah bagiku. Aku lebih sering
tersenyum, mengecek ponsel dan menghubunginya. Bertanya tentang apa yang dia
rasakan sekarang. Apakah ia sudah mencintaiku cukup banyak hari ini. Dan
pertanyaan-pertanyaan lain yang mungkin tidak pernah diajukan oleh seorang
kekasih pada umumnya.
Aku
sudah tahu, bahkan sangat tahu, kalau meskipun dia menerima hubungan ini, tapi
cintanya tidak demikian tumbuh begitu saja, merambat sangat cepat seperti yang
aku inginkan. Dia adalah gadis yang cukup tegas jika menyangkut perasaan. Maka
sama seperti setiap harinya, ia juga menjawab kalau cintanya belum ada separuh,
bahkan seperempat pun juga belum. Dan itulah yang membuatnya nampak berbeda
dari semua gadis yang pernah kukenal. Dia selalu tampil apa adanya.
***
Aku
bangkit dan beranjak menuruni loteng, menuju kamarku. Dari jam digital yang ada
di meja samping ranjang bisa kulihat kalau jam sudah menunjukkan pukul 21:05,
itu artinya aku sudah berada di loteng dan hanyut dalam lamunanku kurang lebih
satu jam. Sedangkan di sampingku, istriku yang semula sudah memejamkan mata,
langsung terbangun, menatapku sambil tangannya menutup mulut saat menguap.
“Dari
mana saja?” tanyanya.
Aku
mengangkat sepatu roda yang kuletakkan di kaki ranjang, tersenyum sekilas dan
menyuruhnya untuk melanjutkan tidur. Ia mengangguk, membalikkan badannya agar
nanti bisa berbaring menghadapku. Membuatku langsung merebahkan diri dan
berbaring menghadapnya. Mengusap lembut rambut panjangnya yang tergerai. Ini
adalah bagian yang paling aku suka. Memandangi wajah lugunya kala tertidur
nyenyak.
Aku
membalikkan tubuhku sekilas. Melepaskan jam tangan yang masih melingkar, juga
merogoh kantong. Tadi, aku juga membawa serta kalung itu saat turun.
Memperhatikan lagi sekilas bagian belakangnya sebelum akhirnya menaruh benda
tersebut ke laci meja, untuk kemudian melirik istriku. Di sana, sebuah nama
terukir indah.
“Maaf,
tapi aku tidak bisa melanjutkannya lagi,” ucapnya suatu hari.
Aku
yang sedang membawa seplastik es kelapa langsung diam mematung. Tadi, saat aku
keluar dan melihatnya hanya duduk di kelas selama jam istirahat, aku membelikan
minuman ini untuknya. Aku bahkan tidak membeli sesuatu apa pun untuk diriku
karena sudah beberapa hari ini aku memutuskan untuk berpuasa, menyisihkan uang
sakuku demi membelikannya sebuah hadiah. Hadiah itu, aku bahkan telah
membelinya semalam.
“Kenapa?”
tanyaku bingung. Bagaimana tidak, selama ini kami selalu akur, ia bahkan terus
saja tersenyum setiap kali aku meneleponnya dan berbincang selama beberapa jam.
Kami tidak memiliki masalah apa pun sehingga tidak perlu mengakhiri hubungan
ini.
“Maaf,”
jawabnya pelan.
“Kenapa?”
tanyaku lagi.
Dia
menunduk dalam. Kedua tangannya saling menggenggam satu sama lain. bibirnya
terkatup. Pun begitu matanya yang agak sipit terus memerhatikan lantai kelas
lamat-lamat.
“Apa
aku telah melakukan sesuatu yang salah?”
“Tidak,”
jawabnya cepat.
“Lalu?”
Dia
melirikku. Menggigit ujung bibirnya. “Setiap kali kamu menanyakan isi hatiku,
aku mencoba untuk mengatakan pada diriku untuk mencintaimu. Hanya saja … setiap
kali aku mencobanya, maka aku hanya mendapati semua itu tidak pernah ada.” Dia
memalingkan wajahnya. “Maaf, aku tidak bisa,” lanjutnya.
“Tidak
apa-apa, mungkin kamu bisa mencintaiku suatu hari nanti,” sanggahku yang
terkesan memaksa.
Dia
menggeleng. Meyakinkan diriku bahwa sekarang atau nanti, semuanya sama saja.
Gadis berkulit putih itu bahkan tetap tidak mengubah keputusannya setelah aku
meminta kepadanya untuk bertahan sehari lagi. Ada yang ingin aku berikan kepadanya.
Dia
mengangkat kepalanya. Matanya yang sipit seperti sengaja dilebarkan olehnya.
“Aku tidak menerimamu untuk meminta apa pun,” ucapnya. Pergi meninggalkanku
yang hanya berteman dengan suara embus angin juga deru kendaraan dari jalan
raya di depan sekolah.
Aku
hanya bisa mematung. Hingga malam hari aku menghubunginya, hendak meminta maaf
atas kata-kataku yang terdengar sedikit kelewatan. Tapi percuma, dia tidak
meresponsnya sama sekali. Mengabaikan panggilan teleponku yang mungkin sudah
hampir 15 kali.
Di
sana, di ruang yang aku tinggali sekitar delapan menit lalu, sebuah loteng yang
gelap. Aku merenggangkan jari-jariku, menatap kalung yang niatnya akan
kuberikan padanya besok. Lantas membuang benda itu sekuat tenaga,
meninggalkannya dengan sebuah nama yang sengaja aku minta tukang kalung untuk
mengukirnya kemarin malam. Aku hampir lupa nama itu hingga akhirnya aku
membacanya lagi tadi. (*)
Terbit di IDN Times (https://www.idntimes.com/fiction/story/aila-calestyn/cerpen-sebuah-nama-di-kalung-kekasihku-c1c2)
Terbit di IDN Times (https://www.idntimes.com/fiction/story/aila-calestyn/cerpen-sebuah-nama-di-kalung-kekasihku-c1c2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar