Kamis, 22 November 2018

Sebuah Nama di Kalung Kekasihku

Makan malam sudah berlalu sejak setengah jam. Aku tidak kembali ke kamarku, pun begitu istriku tengah menemani Rey, anak kami, agar lekas tidur. Rencana untuk berkunjung ke taman yang ada di Monas membuatku pergi ke loteng dan mencari sepatu roda yang pernah kugunakan dulu, sebelum menikah, untuk bermain bersama Rey minggu sore nanti.

Aku menurunkan beberapa tumpukan dus, membongkarnya. Aku yakin kalau telah menyimpan sepatu roda berwarna abu-abu itu di salah satu dus dan meletakkannya di sini bersama barang-barang tak terpakai lainnya. Membuatku terus mencari dan melepas selotip yang merekat pada tiap-tiap dus yang mengunci rapatnya.

“Ah, ternyata memang benar ada di sini,” gumamku setelah menemukannya di dalam sebuah dus mi instan yang terbungkus rapi oleh koran.

Tak lama setelah memisahkan sepatu roda itu dan merapikan dus-dus hingga tersusun seperti semula, aku langsung bergegas menuruni anak tangga kecil yang terbuat dari kayu sebagai pijakannya, dan tambang untuk menyambung tiap-tiap kayu. Hingga cahaya bulan yang menyorot ke jendela berbentuk segitiga terpantul pada sebuah benda, berkilau. Aku menghentikan langkahku pada anak tangga keempat dari atas, tubuhku yang baru keluar sepinggang kini mematung. Memicingkan mata, lantas kembali menaiki anak tangga kayu ini dan memeriksa sebuah benda berkilau tadi.

Aku berjalan pelan, memastikan sorot mataku tak melepas pandangan pada benda berkilau itu, melewati tumpukan dus yang aku geser sedikit dengan tangan dan kaki, lalu menghampiri sudut loteng yang hampir dekat dengan jendela kecil. Menyibak beberapa benda seperti tumpukan koran, buku, juga sebuah dus yang sempat menghalangiku untuk mengambil benda kecil yang bersembunyi dan menyelinapkan diri pada celah kayu yang renggang.

Ya, seperti dugaanku sebelumnya. Benda berkilau itu adalah kalung dengan liontin berbentuk hati. Aku mengambilnya, kemudian menggeser sebuah kursi kecil yang juga ada di loteng. Duduk sembari memandangi benda yang sudah lama sekali aku lupakan, atau mungkin aku malah mencarinya di dasar alam bawah sadarku. Ada sesuatu yang istimewa dengan kalung itu. Sebuah kenangan tentang akhir musim panas yang kemudian berganti dengan ditandai turunnya satu per satu tetes air dari langit.

Waktu itu, tepatnya pada awal bulan Juli atau mungkin akhir bulan Juni, itu berlangsung lima belas tahun lalu. Aku menatap seseorang yang sama sekali tidak asing bagiku. Gadis itu mengenakan seragam seperti anak-anak perempuan lainnya, menyandarkan punggungnya ke bangku dan tangannya tengah memainkan pensil 2B yang baru diraut. Aku yang duduk paling belakang hanya bisa memandangi separuh wajahnya yang kini sedang menyunggingkan senyum tatkala ia berbincang dengan seseorang di sampingnya.

Jauh sebelum rutinitas gila ini aku lalukan—memandanginya setiap jam istirahat, aku juga sudah sering mencuri pandang padanya selama dua tahun belakangan. Melirik setiap kali ada kesempatan, bahkan terkadang aku tertangkap basah oleh temanku—yang sempat dicintainya. Ah, seluruh anak di kelas, bahkan di sekolah, mereka sudah tahu tentang perasaanku ini. Bahkan dia juga sama. Hanya saja entah kenapa gadis berlesung pipi itu tak pernah melirik sekalipun padaku. Dia sekadar menganggapku sahabat, tidak lebih dan tidak kurang. Namun aku rasa tidak untuk kali ini. Aku sudah menunggu terlalu lama.

“Bagaimana?” tanyaku gemetar setelah mempertanyakan kesetujuannya.

Dia menundukkan kepala. Itu adalah reaksi pertama yang biasa dilakukannya setiap kali ada teman-teman lelakiku yang menyatakan cinta kepadanya. Aku tahu seperti apa dia, juga peraturan keluarganya. Tapi … tidak ada salahnya, bukan, jika aku berpacaran dengannya.

“Bukannya kamu sudah tahu?” ia balik bertanya kepadaku.

Aku mengangguk. Jelas sekali aku sudah tahu. Bukan hanya tahu tentang peraturan yang melarang gadis berkerudung itu berpacaran, tapi juga tahu kalau pertanyaannya lebih mengarah kepada, "aku tidak mencintaimu," begitulah kira-kira.

“Tidak apa-apa, kita bisa menjalaninya dulu. lagi pula kita tidak melakukan hal yang aneh-aneh—maksudku bergandengan atau lebih dari itu.”

“Kalau begitu kenapa tidak bersahabat saja seperti biasa?”

Deg!

Mungkin jika aku memikirkan itu secara sekilas, aku akan setuju. Tidak ada yang salah dengan berteman, kami sudah cukup akrab sejak duduk di bangku sekolah dasar, pun begitu tetap dekat setelah melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya. Kami bersahabat sejak enam tahun lalu.

Aku menyadari kalau aku mulai terbiasa dengan semua itu. Menjadi sangat dekat dengannya meski hanya sebatas sahabat bukanlah perkara yang sulit. Tapi tidak lagi sejak setahun lalu, saat aku tahu dia menyukai seseorang yang baru dikenalnya setelah hari ketiga MOS, pun sebaliknya, lelaki itu juga menyukainya. Pertanyaan demi pertanyaan mulai bergentayangan, memaksa otakku untuk terus berpikir kenapa dia bisa begitu cepat jatuh cinta pada seseorang yang baru dikenalnya. Sedangkan aku, kami sudah saling mengenal hampir sebelas tahun lamanya, dia juga mengatakan aku lelaki yang baik. Tapi, kenapa?

“Kita sudah menjalani itu sangat lama, dan aku sudah sering mengatakan isi hatiku. Jadi … aku pikir aku ingin sesuatu yang lain,” ucapku yang mengalir begitu saja tanpa bisa kucegah.

Dia mengangguk. Berkata akan memikirkannya dahulu selama beberapa hari. Aku menyetujuinya, menunggu dengan sabar. Melihatnya setiap hari di kelas. Tersenyum kepadanya jika kami berpapasan. Pun begitu kami tetap bisu.

“Baiklah,” jawabnya singkat.

“Ma—makudnya?”

“Baiklah,” ulangnya.

“Jadi …?”

Dia mengangguk, lantas langsung keluar kelas dan pergi ke kantin. Meninggalkanku yang tersenyum mengembang dan tangan terkepal kuat karena menahan tawa. Berlompat satu-dua kali, kemudian duduk dengaan tingkah yang serba salah.

Setiap hari, setelah kejadian itu, berjalan dengan indah bagiku. Aku lebih sering tersenyum, mengecek ponsel dan menghubunginya. Bertanya tentang apa yang dia rasakan sekarang. Apakah ia sudah mencintaiku cukup banyak hari ini. Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang mungkin tidak pernah diajukan oleh seorang kekasih pada umumnya.

Aku sudah tahu, bahkan sangat tahu, kalau meskipun dia menerima hubungan ini, tapi cintanya tidak demikian tumbuh begitu saja, merambat sangat cepat seperti yang aku inginkan. Dia adalah gadis yang cukup tegas jika menyangkut perasaan. Maka sama seperti setiap harinya, ia juga menjawab kalau cintanya belum ada separuh, bahkan seperempat pun juga belum. Dan itulah yang membuatnya nampak berbeda dari semua gadis yang pernah kukenal. Dia selalu tampil apa adanya.

***

Aku bangkit dan beranjak menuruni loteng, menuju kamarku. Dari jam digital yang ada di meja samping ranjang bisa kulihat kalau jam sudah menunjukkan pukul 21:05, itu artinya aku sudah berada di loteng dan hanyut dalam lamunanku kurang lebih satu jam. Sedangkan di sampingku, istriku yang semula sudah memejamkan mata, langsung terbangun, menatapku sambil tangannya menutup mulut saat menguap.

“Dari mana saja?” tanyanya.

Aku mengangkat sepatu roda yang kuletakkan di kaki ranjang, tersenyum sekilas dan menyuruhnya untuk melanjutkan tidur. Ia mengangguk, membalikkan badannya agar nanti bisa berbaring menghadapku. Membuatku langsung merebahkan diri dan berbaring menghadapnya. Mengusap lembut rambut panjangnya yang tergerai. Ini adalah bagian yang paling aku suka. Memandangi wajah lugunya kala tertidur nyenyak.

Aku membalikkan tubuhku sekilas. Melepaskan jam tangan yang masih melingkar, juga merogoh kantong. Tadi, aku juga membawa serta kalung itu saat turun. Memperhatikan lagi sekilas bagian belakangnya sebelum akhirnya menaruh benda tersebut ke laci meja, untuk kemudian melirik istriku. Di sana, sebuah nama terukir indah.

“Maaf, tapi aku tidak bisa melanjutkannya lagi,” ucapnya suatu hari.

Aku yang sedang membawa seplastik es kelapa langsung diam mematung. Tadi, saat aku keluar dan melihatnya hanya duduk di kelas selama jam istirahat, aku membelikan minuman ini untuknya. Aku bahkan tidak membeli sesuatu apa pun untuk diriku karena sudah beberapa hari ini aku memutuskan untuk berpuasa, menyisihkan uang sakuku demi membelikannya sebuah hadiah. Hadiah itu, aku bahkan telah membelinya semalam.

“Kenapa?” tanyaku bingung. Bagaimana tidak, selama ini kami selalu akur, ia bahkan terus saja tersenyum setiap kali aku meneleponnya dan berbincang selama beberapa jam. Kami tidak memiliki masalah apa pun sehingga tidak perlu mengakhiri hubungan ini.

“Maaf,” jawabnya pelan.

“Kenapa?” tanyaku lagi.

Dia menunduk dalam. Kedua tangannya saling menggenggam satu sama lain. bibirnya terkatup. Pun begitu matanya yang agak sipit terus memerhatikan lantai kelas lamat-lamat.

“Apa aku telah melakukan sesuatu yang salah?”

“Tidak,” jawabnya cepat.

“Lalu?”

Dia melirikku. Menggigit ujung bibirnya. “Setiap kali kamu menanyakan isi hatiku, aku mencoba untuk mengatakan pada diriku untuk mencintaimu. Hanya saja … setiap kali aku mencobanya, maka aku hanya mendapati semua itu tidak pernah ada.” Dia memalingkan wajahnya. “Maaf, aku tidak bisa,” lanjutnya.

“Tidak apa-apa, mungkin kamu bisa mencintaiku suatu hari nanti,” sanggahku yang terkesan memaksa.

Dia menggeleng. Meyakinkan diriku bahwa sekarang atau nanti, semuanya sama saja. Gadis berkulit putih itu bahkan tetap tidak mengubah keputusannya setelah aku meminta kepadanya untuk bertahan sehari lagi. Ada yang ingin aku berikan kepadanya.
Dia mengangkat kepalanya. Matanya yang sipit seperti sengaja dilebarkan olehnya. 

“Aku tidak menerimamu untuk meminta apa pun,” ucapnya. Pergi meninggalkanku yang hanya berteman dengan suara embus angin juga deru kendaraan dari jalan raya di depan sekolah.

Aku hanya bisa mematung. Hingga malam hari aku menghubunginya, hendak meminta maaf atas kata-kataku yang terdengar sedikit kelewatan. Tapi percuma, dia tidak meresponsnya sama sekali. Mengabaikan panggilan teleponku yang mungkin sudah hampir 15 kali.

Di sana, di ruang yang aku tinggali sekitar delapan menit lalu, sebuah loteng yang gelap. Aku merenggangkan jari-jariku, menatap kalung yang niatnya akan kuberikan padanya besok. Lantas membuang benda itu sekuat tenaga, meninggalkannya dengan sebuah nama yang sengaja aku minta tukang kalung untuk mengukirnya kemarin malam. Aku hampir lupa nama itu hingga akhirnya aku membacanya lagi tadi. (*)

Terbit di IDN Times (https://www.idntimes.com/fiction/story/aila-calestyn/cerpen-sebuah-nama-di-kalung-kekasihku-c1c2)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar