Aku berdiri dekat peron sambil
membenamkan kedua tanganku di saku. Mataku menyapu sekitar, tak banyak orang
yang berada di sini untuk menunggu kedatangan kereta atau orang yang menaikinya
dikarenakan salju turun agak lebat malam ini. Dan kabarnya beberapa kereta
berhenti beroperasi untuk sementara waktu.
Sudah tiga puluh menit, orang-orang yang tadi menunggu bersamaku telah pergi, mungkin pulang ke rumah masing-masing. Tak lama cahaya menyilaukan muncul dari sisi kanan setelah lantai bergetar. Aku mengambil buntalan berisi pakaian, komik samurai, uang, serta surat yang disisipkan Ayah untuk Bibi Yuki. Aku akan pergi meninggalkan Tokyo dan tinggal bersama wanita bertubuh gemuk itu.
Sudah tiga puluh menit, orang-orang yang tadi menunggu bersamaku telah pergi, mungkin pulang ke rumah masing-masing. Tak lama cahaya menyilaukan muncul dari sisi kanan setelah lantai bergetar. Aku mengambil buntalan berisi pakaian, komik samurai, uang, serta surat yang disisipkan Ayah untuk Bibi Yuki. Aku akan pergi meninggalkan Tokyo dan tinggal bersama wanita bertubuh gemuk itu.
Tuuut …! Tuuut …!
Asap mengepul ke langit. Aku menaikkan
sedikit syalku yang berwarna hijau lumut, lantas masuk ke kereta begitu pintu
terbuka, duduk di bangku yang tak jauh dari pintu. Aku menatap jendela yang
kacanya berembun, membayangkan rumah juga semangkuk udon yang tengah dimakan
keluargaku, berbincang-bincang tentang betapa nakalnya aku sewaktu kecil.
Aku ingat kalau mereka sering
menceritakan soal sepeda tua di rumah tetangga sebelah yang selalu kunaiki,
janggut Kakek yang sangat senang kutarik-tarik, juga baju kodok berwarna kuning
dengan gambar beruang yang membuatku merengek setiap hari untuk memakainya.
Mereka bercerita banyak tentangku pada siapa pun, termasuk pada Hayato Sensei
saat membicarakan perihal kepindahanku.
Tuuut …! Bunyi itu kembali terdengat
saat kereta beranjak pergi, meninggalkan Stasiun Osaki. Itu bunyi yang
terdengar pilu untukku, menyadari bahwa rumah bukan lagi tempatku pulang.
Tak banyak yang kulakukan selama di
kereta. Aku membuka buntalan, memilah-milah, dan mengambil roti isi juga komik
sebagai teman perjalanan, lantas mengikat kembali kain merah bermotif bunga
sakura. Mengabaikan orang tua yang duduk tak jauh dariku. Ia terus
memerhatikanku sambil mengelus tangan kirinya yang keriput. Aku tak banyak
memerhatikannya selain karena mantel berbulu juga ikat pinggang besarnya yang
agak menyorot perhatian. Di tangan kanannya melingkar cincin berbatu rubi. Dia
sama sekali tidak mirip orang Jepang jika dilihat dari tempatku duduk.
***
Cahaya matahari membangunkanku,
sepertinya malam telah berlalu sangat cepat. Aku melihat kereta telah berhenti
di stasiun yang temboknya bercat kuning, sama persis seperti yang dikatakan
Ayah. Kupikir akan butuh waktu lama untuk sampai, mengingat semalam ada badai
salju sehingga kereta terpaksa berhenti beroperasi.
“Kau sudah bangun?” tanya pria tua yang
semalam memerhatikanku. Suaranya serak-serak basah.
Aku tak menjawabnya, Ayah bilang aku
tidak boleh bicara dengan orang asing. Aku memilih untuk memasukkan kembali
komikku ke dalam buntalan, membuka pintu dan sedikit membungkukkan badan guna
memberi salam pada pria tua itu, kemudian keluar.
Tak ada siapa pun di stasiun ini
termasuk penjaga loket, membuatku melirik pria tua yang masih duduk di dalam
kereta sambil tersenyum padaku. Aku rasa dia menunggu masinis melanjutkan
perjalanan menuju pemberhentian selanjutnya. Tanpa membuang banyak waktu, aku
menjinjing buntalanku dan bergegas meninggalkan stasiun. Pikiranku dipenuhi
dengan rencana-rencana masa depan yang telah lama kurancang. Setidaknya tinggal
bersama Bibi Yuki akan membuatku mampu melanjutkan sekolah. Aku dapat
bersekolah sambil bekerja paruh waktu di kedainya, dengan begitu aku bisa pergi
ke suatu tempat nan jauh, di mana terdapat jam raksasa seperti yang kulihat di
buku bersampul hitam dengan gambar Bumi.
Langkahku terhenti di depan pintu
keluar, mata cokelatku membesar ketika melihat beberapa hewan yang berjalan dengan
kedua kakinya.
“Siapa kamu?” tanya seekor kambing
setengah berbisik sambil menopang salah satu tangannya di bahuku, tidak,
maksudku menopang kaki depannya, sedangkan kaki depannya yang lain malah
bertolak pinggang.
“Si—siapa kamu?” aku balik bertanya.
Dia melepas kacamata hitamnya,
memicingkan mata sambil menatapku penuh selidik. “Kamu manusia?”
Aku mengangguk. Tentu saja aku manusia.
Tapi … bagaimana bisa? Semua ini tentu tidak masuk akal!
“Kalau begitu ikutlah denganku,”
ajaknya. Aku mundur selangkah. Sepertinya aku turun di tempat yang salah. Aku
harus bergegas kembali sebelum kereta yang tadi kutumpangi pergi.
Nihil. Tempat ini gila! Setidaknya
itulah yang aku pikirkan sekarang. Tanpa ada sedikit pun jejak, kereta itu
menghilang bersama relnya. Hanya ada tanah lapang yang ditumbuhi beberapa pohon
sakura yang sedang menggugurkan satu per satu bunganya.
“Kita harus segera menemui Haku-sama
sebelum pasukan kerajaan mengetahui keberadaanmu,” bisik kambing itu yang entah
sejak kapan sudah berdiri di sampingku.
“Haku-sama? Siapa dia?”
“Seseorang yang akan membuatku tetap
aman berada di sini.”
Baru sesaat aku berpikir, tiba-tiba
kambing itu langsung menarik tanganku, mengajakku bersembunyi di balik tembok
ketika beberapa kuda yang bersikap normal—berlari dengan keempat
kakinya—melintas. Katanya, itu adalah prajurit kerajaan yang sedang berpatroli.
“Cepat!” ajaknya. Kali ini ia
menyuruhku untuk naik ke tubuhnya yang tidak terlalu berisi.
“Cepatlah!” serunya sekali lagi.
Aku tak bertanya apa pun, memilih naik
ke punggungnya setelah mengenakan mantel bulu yang sangat besar darinya. Saking
besar mungkin para prajurit takkan mengira kalau aku adalah manusia seandainya
berpapasan nanti, seperti katanya.
***
Aku menarik napas dalam-dalam.
Haku-sama yang dimaksudkan Ryo—kambing berbulu hitam yang membawaku
kemari—ternyata adalah naga berkepala dua. Tubuhnya yang panjang dan besar
berjalan mengelilingiku. Matanya terus menatapku dari atas hingga bawah.
“Bagaimana kau bisa berada di sini?”
tanyanya. Aku mengangkat kedua bahu, tidak tahu apa pun.
“Bawa dia kepada para prajurit!”
Ryo terbelalak. Tangannya yang serupa
manusia mengganggam tanganku, pun begitu ia menggeleng. “Anda tidak bisa
menyerahkannya begitu saja. Dia masih anak-anak.”
“Kita tidak mungkin menyembunyikannya
di sini.”
“Biarkan dia bekerja untuk Anda!”
Haku-sama terdiam, nampaknya dia sedang
berpikir sejenak, menimbang-nimbang tawaran yang diberikan Ryo. “Ambil ramuan
berwarna biru,” ujarnya.
Ryo mengangguk, masuk ke sebuah
ruangan, lantas kembali sambil membawa botol kecil berisi cairan berwarna biru.
“Minumlah!”
“Minum saja,” bisik Ryo. Aku menuruti
perkataannya, meminum cairan biru tersebut. Tak butuh waktu semenit, ramuan itu
langsung bereaksi. Jantungku seakan terbakar, juga tubuh dan tulangku terasa
remuk seketika, membuatku menjerit kesakitan untuk kemudian tidak sadarkan
diri.
***
“Kamu sudah lebih baik sekarang?” tanya
Ryo. Aku terdiam, memegang kepalaku yang masih terasa pusing.
“Bekerjalah!” titah Haku-sama dari
luar.
Seketika aku mendelik, bukan karena
suara Haku-sama yang mengejutkanku, melainkan perubahan yang terjadi pada
diriku.
“Aku akan mengantarmu.”
Sambil berjalan mengikuti Ryo, aku
memerhatikan tangan, kaki, juga tubuhku. Rambut cokelat almond-ku yang sudah
agak panjang hilang tak berbekas, pun begitu tubuhku yang agak mungil kini jauh
lebih besar, bahkan sangat besar jika dibandingkan dengan Ryo, pun begitu
semuanya nampak dipenuhi bulu kecuali telapak kaki dan tanganku. Ini … sama
persis seperti beruang putih yang ada di baju kodokku.
“Ryo-kun.”
“Hai.”
“Apa kamu juga manusia?”
Gerakan tangan Ryo yang hendak
menggeser pintu langsung terhenti. Ia membalikkan tubuhnya dan mendongak.
“Kenapa kamu menanyakannya?”
“Eto … aku hanya penasaran saja.”
Ryo membalikkan badannya, menggeser
pintu. “Ini adalah tempat kerjamu,” ucapnya.
“Oh iya, soal pertanyaanmu ….” Aku
menatapnya lekat-lekat.
“Aku akan menjawabnya nanti,” lanjutnya
yang kemudian pergi, berjalan semakin jauh dariku sampai akhirnya menghilang
saat berbelok ke arah kiri bangunan berlantai 5 ini.
Sementara dia pergi, aku menghela
napas, menatap piring-piring kotor dan beberapa peralatan dapur yang
menggunung. Ryo sudah mengatakan padaku kalau di sini mereka kekurangan tenaga
kerja. Semua orang, bukan, maksudku hewan, mereka sibuk memasak dan menghidangkannya
kepada para pelanggan.
***
Hari demi hari terlewati, sudah sebulan
aku berada di sini dan mulai terbiasa dengan penampilanku. Di luar, pohon
sakura pun sudah tidak lagi menyisakan bunganya, sementara cuaca bertambah
dingin karena hendak memasuki musim salju. Musim di mana aku pergi meninggalkan
rumah.
“Ayo!” ajak Ryo.
“Ke mana?”
“Bukankah kamu ingin tahu apakah aku
manusia?”
Mata sipitku membesar mendengar
pertanyaan kambing berbulu hitam yang selalu pergi setiap pagi dan pulang
dengan tubuh penuh luka kala malam. Entah apa yang dikerjakannya, karena setiap
kali aku bertanya, ia pasti menghindar, memilih untuk mematikan lampu dan
bergegas tidur.
“Jika kamu terlalu banyak berpikir,
maka kamu tidak akan mendapat jawaban apa pun,” ujarnya.
Aku langsung mengangguk. Bangkit dari
ranjang berukuran 3x2 meter persegi, ini cukup luas seluas kamarku dulu.
“Kalau begitu kita harus bergegas.”
Aku memakai syal hasil rajutan Ibu,
pergi mengikuti Ryo menyusuri hutan yang sangat gelap saat malam, sementara suara
burung gagak yang tengah terbang di atas pepohonan terdengar jelas. Satu-dua
bertengger di ranting seolah sedang memerhatikan langkah kami. Ryo berhenti, di
depan sana terdapat lorong juga pintu kayu dengan cat berwarna cokelat yang
sudah terkelupas di beberapa bagian. Ke sanalah kami akan pergi.
“Tempat apa itu?” tanyaku setelah
mengetahui tempat yang akan kami tuju.
Ryo memicingkan mata padaku, lantas
memilih terus berjalanan ketimbang memberikanku jawaban.
“Masuklah,” ujarnya saat kami sampai di
depan pintu.
Aku terdiam sejenak karena masih
bertanya-tanya tempat seperti apa yang hendak kami datangi, dan apa jawaban
yang sesungguhnya. Maksudku, Ryo tidak perlu memperumit jawaban yang bisa
dijawabnya dengan mengatakan iya atau tidak. Apa susahnya menjawab seperti itu.
Sebelum Ryo menyuruhku untuk kedua
kalinya, cukup mendengar dehemannya saja aku langsung membuka pintu, bergegas
masuk lebih dulu. Tunggu, ini bukan ruangan serupa kamar atau sejenisnya
seperti yang aku bayangkan. Di ruangan ini terdapat tangga yang akan membawa
kami ke bawah, menuju sesuatu yang tidak kuketahui.
“Kamu gila?”
“Kenapa?”
“Bagaimana aku bisa turun dengan tubuh
seperti ini?”
“Apa aku harus menggelindingkanmu?”
Aku mendengus kesal, mulai turun
perlahan, memerhatikan pijakanku sambil sesekali melirik ke kiri dan kanan.
Tidak ada penerangan di sini, hanya ada bau lembap
dan hawa dingin yang menyelimuti.
“Ini,” ucap Ryo tak lama setelah kami
berhasil turun dengan selamat. Ruangan di
bawah sini rupanya tak segelap saat kami menuruni tangga tadi.
“Apa ini?”
“Kita memerlukan ramuan ini jika ingin
pulang?”
“Pulang?”
“Hai.”
“Ke mana?”
“Ke dunia kita.”
“Jadi …?”
Ryo mengangguk, duduk di salah satu
pipa tak jauh dari genangan air. “Aku juga manusia, sama sepertimu. Hampir
separuh penduduk di sini juga manusia, hanya saja ….”
“Hanya saja apa?”
Ia terdiam. Aku tak bisa melihat jelas
ekspresi Ryo, tapi suara napasnya yang berat membuatku tahu kalau ia tengah
murung, atau memang suara napasnya selalu seberat ini. “Mereka lupa siapa
identitas mereka yang sebenarnya setelah terjebak cukup lama,” jelasnya.
“Maksudmu?”
“Kereta yang kamu tumpangi, itu adalah
kereta yang beroperasi dari ruang bawah tanah kerajaan menuju titik-titik
tertentu, seperti Stasiun Osaki, tempatmu pergi. Raja Yamauchi hendak membangun
negeri impiannya dengan menembus ruang antar dimensi dan menculik orang-orang
dari dunia kita. Beberapa orang yang berhasil ditangkap setelah kereta datang
akan dibawa ke pengasingan, dicuci otaknya setelah dipaksa meminum ramuan,
lantas dijadikan prajurit. Mereka hendak melintasi ruang antar dimensi secara
langsung tanpa melalui alat seperti kereta dan mengacaukan dimensi yang telah
dibuat oleh para dewa.”
“Dari mana kamu tahu semua itu?”
“Haku-sama memintaku untuk menyelidiki
raja kerdil itu beberapa waktu belakangan ini. Aku telah melihat dengan mata
kepalaku sendiri saat kereta keluar dari gerbang bawah tanah kerajaan.”
“Kamu menaikinya untuk pulang?”
“Hai.”
“Lalu?”
“Dari cara yang kucoba terakhir kali
adalah kita harus berubah ke wujud asal kita untuk bisa menaiki kereta itu.
Jika tidak, maka percuma saja. Kita akan terpental saat berhadapan dengan ruang
antar dimensi, dan kemungkinan terbesar lainnya yang bisa terjadi adalah kamu
akan mati tercincang saat berada di ruang itu yang berjarak cukup lebar.” Ryo
menundukkan kepalanya.
Aku mengangguk samar. “Di mana ruang
bawah tanah kerajaan?” tanyaku lagi.
“Di sini. Kita hanya perlu berjalan
beberapa puluh meter.” Ryo bangkit dan memegang tanganku. “Sebentar lagi kereta
itu akan beroperasi, jadi kita harus bergegas.”
Aku ikut bangkit, berjalan satu langkah
di belakangnya dengan tangan yang masih saling menggenggam satu sama lain. Tiba
di ruangan yang sedikit lebih terang. Aku
sempat melirik Ryo sekilas saat ia menyeka air mata yang menggenang di sudut matanya, membuatku menghela napas. Aku tahu kenapa tadi suaranya bernada sendu, itu sudah menjelaskan
padaku kenapa Haku-sama tak pernah terlihat lagi sejak seminggu lalu.
Tuuut …!
Suara itu membuat kami bergegas,
melewati beberapa belokan yang sudah Ryo hafal betul. Napasku sudah tak
beraturan, pun degup jantungku terus berdetak kencang. Sebentar lagi, hanya
tinggal sebentar lagi, aku akan pulang. Itulah yang terus kuucapkan dalam hati.
Aku bernapas lega, Untunglah kereta itu
belum berangkat. Kami masih punya waktu meminum ramuan dan naik kereta berwarna
putih dengan garis biru-hitam tersebut.
“Minumlah dan ingat seperti apa wujudmu
yang sebenarnya,” titah Ryo yang membuatku tercengang.
“Kenapa?” Ryo terbelalak, matanya
menatapku penuh selidik, pun begitu tangannya mengenggam tanganku lebih erat.
“Kamu lupa wujud aslimu?”
Aku terdiam, membiarkan telinga kami
hanya mendengarkan suara tetes air dari sambungan pipa, jatuh dan bergabung
bersama air yang menggenang di lorong ini. (*)
Terbit di Lokerkata.com (http://www.lokerkata.com/2018/07/kereta-kereta-di-stasiun-osaki/)
Terbit di Lokerkata.com (http://www.lokerkata.com/2018/07/kereta-kereta-di-stasiun-osaki/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar