Jumat, 31 Agustus 2018

Kereta-Kereta di Stasiun Osaki

Sepertinya aku memang harus pergi karena Ayah tak lagi bisa membiayai keperluan sehari-hari atau sekolahku. Rumah kami terpaksa dijual untuk membayar hutang judi Kakek, meskipun begitu tetap saja belum cukup untuk melunasinya.

Aku berdiri dekat peron sambil membenamkan kedua tanganku di saku. Mataku menyapu sekitar, tak banyak orang yang berada di sini untuk menunggu kedatangan kereta atau orang yang menaikinya dikarenakan salju turun agak lebat malam ini. Dan kabarnya beberapa kereta berhenti beroperasi untuk sementara waktu.


Sudah tiga puluh menit, orang-orang yang tadi menunggu bersamaku telah pergi, mungkin pulang ke rumah masing-masing. Tak lama cahaya menyilaukan muncul dari sisi kanan setelah lantai bergetar. Aku mengambil buntalan berisi pakaian, komik samurai, uang, serta surat yang disisipkan Ayah untuk Bibi Yuki. Aku akan pergi meninggalkan Tokyo dan tinggal bersama wanita bertubuh gemuk itu.

Tuuut …! Tuuut …!

Asap mengepul ke langit. Aku menaikkan sedikit syalku yang berwarna hijau lumut, lantas masuk ke kereta begitu pintu terbuka, duduk di bangku yang tak jauh dari pintu. Aku menatap jendela yang kacanya berembun, membayangkan rumah juga semangkuk udon yang tengah dimakan keluargaku, berbincang-bincang tentang betapa nakalnya aku sewaktu kecil.

Aku ingat kalau mereka sering menceritakan soal sepeda tua di rumah tetangga sebelah yang selalu kunaiki, janggut Kakek yang sangat senang kutarik-tarik, juga baju kodok berwarna kuning dengan gambar beruang yang membuatku merengek setiap hari untuk memakainya. Mereka bercerita banyak tentangku pada siapa pun, termasuk pada Hayato Sensei saat membicarakan perihal kepindahanku.

Tuuut …! Bunyi itu kembali terdengat saat kereta beranjak pergi, meninggalkan Stasiun Osaki. Itu bunyi yang terdengar pilu untukku, menyadari bahwa rumah bukan lagi tempatku pulang.

Tak banyak yang kulakukan selama di kereta. Aku membuka buntalan, memilah-milah, dan mengambil roti isi juga komik sebagai teman perjalanan, lantas mengikat kembali kain merah bermotif bunga sakura. Mengabaikan orang tua yang duduk tak jauh dariku. Ia terus memerhatikanku sambil mengelus tangan kirinya yang keriput. Aku tak banyak memerhatikannya selain karena mantel berbulu juga ikat pinggang besarnya yang agak menyorot perhatian. Di tangan kanannya melingkar cincin berbatu rubi. Dia sama sekali tidak mirip orang Jepang jika dilihat dari tempatku duduk.

***

Cahaya matahari membangunkanku, sepertinya malam telah berlalu sangat cepat. Aku melihat kereta telah berhenti di stasiun yang temboknya bercat kuning, sama persis seperti yang dikatakan Ayah. Kupikir akan butuh waktu lama untuk sampai, mengingat semalam ada badai salju sehingga kereta terpaksa berhenti beroperasi.

“Kau sudah bangun?” tanya pria tua yang semalam memerhatikanku. Suaranya serak-serak basah.

Aku tak menjawabnya, Ayah bilang aku tidak boleh bicara dengan orang asing. Aku memilih untuk memasukkan kembali komikku ke dalam buntalan, membuka pintu dan sedikit membungkukkan badan guna memberi salam pada pria tua itu, kemudian keluar.

Tak ada siapa pun di stasiun ini termasuk penjaga loket, membuatku melirik pria tua yang masih duduk di dalam kereta sambil tersenyum padaku. Aku rasa dia menunggu masinis melanjutkan perjalanan menuju pemberhentian selanjutnya. Tanpa membuang banyak waktu, aku menjinjing buntalanku dan bergegas meninggalkan stasiun. Pikiranku dipenuhi dengan rencana-rencana masa depan yang telah lama kurancang. Setidaknya tinggal bersama Bibi Yuki akan membuatku mampu melanjutkan sekolah. Aku dapat bersekolah sambil bekerja paruh waktu di kedainya, dengan begitu aku bisa pergi ke suatu tempat nan jauh, di mana terdapat jam raksasa seperti yang kulihat di buku bersampul hitam dengan gambar Bumi.

Langkahku terhenti di depan pintu keluar, mata cokelatku membesar ketika melihat beberapa hewan yang berjalan dengan kedua kakinya.

“Siapa kamu?” tanya seekor kambing setengah berbisik sambil menopang salah satu tangannya di bahuku, tidak, maksudku menopang kaki depannya, sedangkan kaki depannya yang lain malah bertolak pinggang.

“Si—siapa kamu?” aku balik bertanya.

Dia melepas kacamata hitamnya, memicingkan mata sambil menatapku penuh selidik. “Kamu manusia?”

Aku mengangguk. Tentu saja aku manusia. Tapi … bagaimana bisa? Semua ini tentu tidak masuk akal!

“Kalau begitu ikutlah denganku,” ajaknya. Aku mundur selangkah. Sepertinya aku turun di tempat yang salah. Aku harus bergegas kembali sebelum kereta yang tadi kutumpangi pergi.

Nihil. Tempat ini gila! Setidaknya itulah yang aku pikirkan sekarang. Tanpa ada sedikit pun jejak, kereta itu menghilang bersama relnya. Hanya ada tanah lapang yang ditumbuhi beberapa pohon sakura yang sedang menggugurkan satu per satu bunganya.

“Kita harus segera menemui Haku-sama sebelum pasukan kerajaan mengetahui keberadaanmu,” bisik kambing itu yang entah sejak kapan sudah berdiri di sampingku.

“Haku-sama? Siapa dia?”

“Seseorang yang akan membuatku tetap aman berada di sini.”

Baru sesaat aku berpikir, tiba-tiba kambing itu langsung menarik tanganku, mengajakku bersembunyi di balik tembok ketika beberapa kuda yang bersikap normal—berlari dengan keempat kakinya—melintas. Katanya, itu adalah prajurit kerajaan yang sedang berpatroli.

“Cepat!” ajaknya. Kali ini ia menyuruhku untuk naik ke tubuhnya yang tidak terlalu berisi.

“Cepatlah!” serunya sekali lagi.

Aku tak bertanya apa pun, memilih naik ke punggungnya setelah mengenakan mantel bulu yang sangat besar darinya. Saking besar mungkin para prajurit takkan mengira kalau aku adalah manusia seandainya berpapasan nanti, seperti katanya.

***

Aku menarik napas dalam-dalam. Haku-sama yang dimaksudkan Ryo—kambing berbulu hitam yang membawaku kemari—ternyata adalah naga berkepala dua. Tubuhnya yang panjang dan besar berjalan mengelilingiku. Matanya terus menatapku dari atas hingga bawah.

“Bagaimana kau bisa berada di sini?” tanyanya. Aku mengangkat kedua bahu, tidak tahu apa pun.

“Bawa dia kepada para prajurit!”

Ryo terbelalak. Tangannya yang serupa manusia mengganggam tanganku, pun begitu ia menggeleng. “Anda tidak bisa menyerahkannya begitu saja. Dia masih anak-anak.”

“Kita tidak mungkin menyembunyikannya di sini.”

“Biarkan dia bekerja untuk Anda!”

Haku-sama terdiam, nampaknya dia sedang berpikir sejenak, menimbang-nimbang tawaran yang diberikan Ryo. “Ambil ramuan berwarna biru,” ujarnya.
Ryo mengangguk, masuk ke sebuah ruangan, lantas kembali sambil membawa botol kecil berisi cairan berwarna biru.

“Minumlah!”

“Minum saja,” bisik Ryo. Aku menuruti perkataannya, meminum cairan biru tersebut. Tak butuh waktu semenit, ramuan itu langsung bereaksi. Jantungku seakan terbakar, juga tubuh dan tulangku terasa remuk seketika, membuatku menjerit kesakitan untuk kemudian tidak sadarkan diri.

***

“Kamu sudah lebih baik sekarang?” tanya Ryo. Aku terdiam, memegang kepalaku yang masih terasa pusing.

“Bekerjalah!” titah Haku-sama dari luar.

Seketika aku mendelik, bukan karena suara Haku-sama yang mengejutkanku, melainkan perubahan yang terjadi pada diriku.

“Aku akan mengantarmu.”

Sambil berjalan mengikuti Ryo, aku memerhatikan tangan, kaki, juga tubuhku. Rambut cokelat almond-ku yang sudah agak panjang hilang tak berbekas, pun begitu tubuhku yang agak mungil kini jauh lebih besar, bahkan sangat besar jika dibandingkan dengan Ryo, pun begitu semuanya nampak dipenuhi bulu kecuali telapak kaki dan tanganku. Ini … sama persis seperti beruang putih yang ada di baju kodokku.

“Ryo-kun.”

Hai.”

“Apa kamu juga manusia?”

Gerakan tangan Ryo yang hendak menggeser pintu langsung terhenti. Ia membalikkan tubuhnya dan mendongak. “Kenapa kamu menanyakannya?”

Eto … aku hanya penasaran saja.”

Ryo membalikkan badannya, menggeser pintu. “Ini adalah tempat kerjamu,” ucapnya.

“Oh iya, soal pertanyaanmu ….” Aku menatapnya lekat-lekat.

“Aku akan menjawabnya nanti,” lanjutnya yang kemudian pergi, berjalan semakin jauh dariku sampai akhirnya menghilang saat berbelok ke arah kiri bangunan berlantai 5 ini.
Sementara dia pergi, aku menghela napas, menatap piring-piring kotor dan beberapa peralatan dapur yang menggunung. Ryo sudah mengatakan padaku kalau di sini mereka kekurangan tenaga kerja. Semua orang, bukan, maksudku hewan, mereka sibuk memasak dan menghidangkannya kepada para pelanggan.

***

Hari demi hari terlewati, sudah sebulan aku berada di sini dan mulai terbiasa dengan penampilanku. Di luar, pohon sakura pun sudah tidak lagi menyisakan bunganya, sementara cuaca bertambah dingin karena hendak memasuki musim salju. Musim di mana aku pergi meninggalkan rumah.

“Ayo!” ajak Ryo.

“Ke mana?”

“Bukankah kamu ingin tahu apakah aku manusia?”

Mata sipitku membesar mendengar pertanyaan kambing berbulu hitam yang selalu pergi setiap pagi dan pulang dengan tubuh penuh luka kala malam. Entah apa yang dikerjakannya, karena setiap kali aku bertanya, ia pasti menghindar, memilih untuk mematikan lampu dan bergegas tidur.

“Jika kamu terlalu banyak berpikir, maka kamu tidak akan mendapat jawaban apa pun,” ujarnya.

Aku langsung mengangguk. Bangkit dari ranjang berukuran 3x2 meter persegi, ini cukup luas seluas kamarku dulu.

“Kalau begitu kita harus bergegas.”

Aku memakai syal hasil rajutan Ibu, pergi mengikuti Ryo menyusuri hutan yang sangat gelap saat malam, sementara suara burung gagak yang tengah terbang di atas pepohonan terdengar jelas. Satu-dua bertengger di ranting seolah sedang memerhatikan langkah kami. Ryo berhenti, di depan sana terdapat lorong juga pintu kayu dengan cat berwarna cokelat yang sudah terkelupas di beberapa bagian. Ke sanalah kami akan pergi.

“Tempat apa itu?” tanyaku setelah mengetahui tempat yang akan kami tuju.

Ryo memicingkan mata padaku, lantas memilih terus berjalanan ketimbang memberikanku jawaban.

“Masuklah,” ujarnya saat kami sampai di depan pintu.

Aku terdiam sejenak karena masih bertanya-tanya tempat seperti apa yang hendak kami datangi, dan apa jawaban yang sesungguhnya. Maksudku, Ryo tidak perlu memperumit jawaban yang bisa dijawabnya dengan mengatakan iya atau tidak. Apa susahnya menjawab seperti itu.

Sebelum Ryo menyuruhku untuk kedua kalinya, cukup mendengar dehemannya saja aku langsung membuka pintu, bergegas masuk lebih dulu. Tunggu, ini bukan ruangan serupa kamar atau sejenisnya seperti yang aku bayangkan. Di ruangan ini terdapat tangga yang akan membawa kami ke bawah, menuju sesuatu yang tidak kuketahui.

“Kamu gila?”

“Kenapa?”

“Bagaimana aku bisa turun dengan tubuh seperti ini?”

“Apa aku harus menggelindingkanmu?”

Aku mendengus kesal, mulai turun perlahan, memerhatikan pijakanku sambil sesekali melirik ke kiri dan kanan. Tidak ada penerangan di sini, hanya ada bau lembap dan hawa dingin yang menyelimuti.

“Ini,” ucap Ryo tak lama setelah kami berhasil turun dengan selamat. Ruangan di bawah sini rupanya tak segelap saat kami menuruni tangga tadi.

“Apa ini?”

“Kita memerlukan ramuan ini jika ingin pulang?”

“Pulang?”

Hai.”

“Ke mana?”

“Ke dunia kita.”

“Jadi …?”

Ryo mengangguk, duduk di salah satu pipa tak jauh dari genangan air. “Aku juga manusia, sama sepertimu. Hampir separuh penduduk di sini juga manusia, hanya saja ….”

“Hanya saja apa?”

Ia terdiam. Aku tak bisa melihat jelas ekspresi Ryo, tapi suara napasnya yang berat membuatku tahu kalau ia tengah murung, atau memang suara napasnya selalu seberat ini. “Mereka lupa siapa identitas mereka yang sebenarnya setelah terjebak cukup lama,” jelasnya.

“Maksudmu?”

“Kereta yang kamu tumpangi, itu adalah kereta yang beroperasi dari ruang bawah tanah kerajaan menuju titik-titik tertentu, seperti Stasiun Osaki, tempatmu pergi. Raja Yamauchi hendak membangun negeri impiannya dengan menembus ruang antar dimensi dan menculik orang-orang dari dunia kita. Beberapa orang yang berhasil ditangkap setelah kereta datang akan dibawa ke pengasingan, dicuci otaknya setelah dipaksa meminum ramuan, lantas dijadikan prajurit. Mereka hendak melintasi ruang antar dimensi secara langsung tanpa melalui alat seperti kereta dan mengacaukan dimensi yang telah dibuat oleh para dewa.”

“Dari mana kamu tahu semua itu?”

“Haku-sama memintaku untuk menyelidiki raja kerdil itu beberapa waktu belakangan ini. Aku telah melihat dengan mata kepalaku sendiri saat kereta keluar dari gerbang bawah tanah kerajaan.”

“Kamu menaikinya untuk pulang?”

Hai.”

“Lalu?”

“Dari cara yang kucoba terakhir kali adalah kita harus berubah ke wujud asal kita untuk bisa menaiki kereta itu. Jika tidak, maka percuma saja. Kita akan terpental saat berhadapan dengan ruang antar dimensi, dan kemungkinan terbesar lainnya yang bisa terjadi adalah kamu akan mati tercincang saat berada di ruang itu yang berjarak cukup lebar.” Ryo menundukkan kepalanya.
Aku mengangguk samar. “Di mana ruang bawah tanah kerajaan?” tanyaku lagi.

“Di sini. Kita hanya perlu berjalan beberapa puluh meter.” Ryo bangkit dan memegang tanganku. “Sebentar lagi kereta itu akan beroperasi, jadi kita harus bergegas.”

Aku ikut bangkit, berjalan satu langkah di belakangnya dengan tangan yang masih saling menggenggam satu sama lain. Tiba di ruangan yang sedikit lebih terang. Aku sempat melirik Ryo sekilas saat ia menyeka air mata yang menggenang di sudut matanya, membuatku menghela napas. Aku tahu kenapa tadi suaranya bernada sendu, itu sudah menjelaskan padaku kenapa Haku-sama tak pernah terlihat lagi sejak seminggu lalu.

Tuuut …!

Suara itu membuat kami bergegas, melewati beberapa belokan yang sudah Ryo hafal betul. Napasku sudah tak beraturan, pun degup jantungku terus berdetak kencang. Sebentar lagi, hanya tinggal sebentar lagi, aku akan pulang. Itulah yang terus kuucapkan dalam hati.

Aku bernapas lega, Untunglah kereta itu belum berangkat. Kami masih punya waktu meminum ramuan dan naik kereta berwarna putih dengan garis biru-hitam tersebut.

“Minumlah dan ingat seperti apa wujudmu yang sebenarnya,” titah Ryo yang membuatku tercengang.

“Kenapa?” Ryo terbelalak, matanya menatapku penuh selidik, pun begitu tangannya mengenggam tanganku lebih erat. “Kamu lupa wujud aslimu?”

Aku terdiam, membiarkan telinga kami hanya mendengarkan suara tetes air dari sambungan pipa, jatuh dan bergabung bersama air yang menggenang di lorong ini. (*)


Terbit di Lokerkata.com (http://www.lokerkata.com/2018/07/kereta-kereta-di-stasiun-osaki/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar