Ada
begitu banyak jendela, seperti kamu tinggal di rumah tempat berlibur, tentu
rumah itu tidak hanya akan memiliki satu jendela agar kamu bisa melihat sisi
barat, utara, timur, dan selatan. Di setiap ruangan, kamu akan menemukan
jendela-jendela yang membuatmu tidak perlu keluar rumah untuk bisa menyaksikan
panorama alam.
Sama halnya
seperti ketika kamu ingin mengetahui isi dunia, kamu membuka jendela yang tidak
hanya buku atau media cetak, tetapi juga media elektronik seperti televisi dan
gadget. Namun sayangnya, saya melihat ini sebagai bentuk pembutaan. Jajahan
yang begitu halus, terutama untuk kalangan anak remaja.
Saya
hampir bisa melihat dan menemukan kalau konten-konten negatif begitu marak
diproduksi dibanding yang positif. Entah itu dalam film, sinetron, berita, atau
hal lainnya. Sejujurnya, ini salah satu faktor yang membuat saya membutakan
diri sendiri (dengan mulai berhenti menonton atau membaca beberapa berita
tertentu) sebelum dibutakan. Makin hari saya malah bertambah tidak acuh dengan
keadaan dunia. Tentang sesuatu yang sedang trend,
topik yang sedang panas diperbincangkan (yang bagi saya malah terkesan
dipergunjingkan), atau hal-hal yang up to
date tidaklah saya ketahui. Saya masa bodoh dengan itu. Bahkan waktu luang
pun juga saya habiskan untuk tidur atau berselonjor dan guyon sama keluarga.
Tidak ada televisi, tidak ada gadget, dan paling-paling saya tengok buku. Kalau
sudah tengok buku otomatis saya harus semedi di kamar biar tidak terganggu
bacanya. Biar tidak digerecokin.
Jadilah
wawasan saya terkotak-kotak. Tulalit saat diajak ngerumpi. Namun saya biasa
saja, tidak merasa kecil karena hal begitu. Menurut saya itu lebih baik
ketimbang saya melihat adik saya nonton film orang dewasa yang belum umurnya
lantaran film untuk remaja atau anak-anak sangat sedikit sekali ditayangkan di
televisi. Kalaupun ada lebih ke hal yang menurut saya kurang mendidik:
cinta-cintaan, tawuran, dll. Kalau mereka buka gadget, yang ditonton beberapa
video di Youtobe tentang lagu, acara, atau apa pun yang sedang trend, dan itu pun tidak melulu yang
sesuai dengan umur mereka. Saya tepok jidat. Tidak mungkin saya larang mereka
dalam segala hal. Tidak mungkin saya suruh mereka belajar dan belajar saja. Paling-paling
saya ikut nonton bareng. Gantian gerecokin channel
Youtube yang sedang asyik mereka tonton sambil saya berpikir, sekarang sudah
begini, lalu bagaimana zaman ketika saya sudah punya anak nanti?
Dalam
sekilas, saya melihat sesuatu yang wajar: orang-orang berlomba mencari
penghasilan. Segalanya disesuaikan dengan selera pasar. Misalnya sekarang lagi
zaman pelakor, maka banyak tayangan mulai dari berita, surat kabar, sampai film
atau sinetron dan buku-buku yang menulis tentang pelakor. Tidak masalah jika
yang diproduksi memang yang berbobot. Sayangnya lebih banyak yang hanya
gosip-gosip saja, mengorek-korek kehidupan pribadi orang lain. Lalu mulailah
orang-orang menghujat sana-sini. Heboh tentang aib orang ini dan itu. Dan saya,
golongan yang menentang memukul rata kalau perempuan atau orang ketiga identik
sebagai pelakor, lagi-lagi hanya bisa tepok jidat. Bukannya apa, gunjingan
macam ini lebih banyak dilontarkan oleh kaum hawa, padahal harusnya mereka
lebih paham sebagai sesama wanita. Atau bisa jadi hanya saya saja yang kurang
peka? Atau mungkin saya dianggap golongan tidak normal?
Tidak
peduli saya termasuk golongan yang mana. Saya tidak terlalu ambil pusing
tentang cara orang memberikan penilaian terhadap saya. Dalam hal ini omongan
orang-orang tidak ngenyangin perut dan tidak bikin saya masuk surga juga. Saya hanya
sedikit bertanya-tanya. Apa selera pasar sebegini bobroknya? Atau karena sudah
disajikan hal-hal bobrok, maka makin menurunlah kualitas selera orang-orang?
Entahlah, saya tidak mau menghakimi. Namun, tetap saja saya sedikit miris
ketika melihat selera pasar gencar dipromosikan sana-sini dengan kualitas yang
makin ambruk atau bikin rusak moral, padahal ada hal-hal besar yang lebih perlu
disorot, tetapi malah disembunyi-sembunyikan biar jadi samar. Biar sengaja
hilang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar