Lily Rosella
& Muhammad Hafizat
Luka yang tercipta itu bukan karena salahnya.
Dalam cinta, tidak ada suatu cara untuk mengukur
kebenaran.
Bisa jadi itu karena hatimu telah jatuh terlalu dalam.
~Lily Rosella
***
Apakah aku harus tenggelam ke laut terdalam, bersembunyi dari setiap
luka yang menyayat hati. Aku ingin melakukannya, jika aku bisa. Tapi … jauh di
dasar, hatiku tertinggal.
Aku terus berenang, tiba di pulau tak berpenghuni. Aku terus
berjalan dengan sepasang kaki yang sudah tak memiliki arti lagi. Tiba-tiba saja
aku menemukan sebuah botol yang berisi surat di dalamnya. Mengambil botol
tersebut dan membuka tutupnya.
Aku menatap sekeliling sambil meremas kertas tersebut. Aku ingat
kejadian hari itu. Itu adalah hari di mana hatiku tak pernah lagi utuh. Dan
dia, seorang pemuda bermata cokelat pekat, dengan sepasang kaki yang digunakan
untuk berjalan di daratan. Aku menemukannya di musim hujan awal tahun. Dia
adalah penggembara yang tersesat.
“Cepat tangkap dia!” teriak seorang pria bertubuh kekar dengan
mengenakan tuksedo dan kaca mata hitam. Tak lama beberapa orang yang berpakaian
sama datang, mengejar pemuda itu.
“Ayo lari!” serunya sambil menarik tanganku, mengajakku untuk
berlari bersama.
Tadi, saat aku sedang berenang tak jauh dari pantai, aku melihatnya
hampir tenggelam. Aku menyelamatkannya dengan membawanya ke tepi. Dan kini,
pemuda itu berlari denganku. Saat seorang Putri Duyung sudah menginjak usia 19
tahun, ia bisa berjalan di darat dengan sepasang kaki. Kami dapat berjalan
meski tak selancar manusia.
“Ayo ke sini!” serunya yang kembali menarik tanganku yang terus
digenggamnya kuat-kuat, lantas bersembunyi di balik dinding bangunan tua. Aku
hanya mengikutinya, menatapnya penuh tanya. Pemuda ini, siapa dia
sebenarnya?
“Kamu baik-baik saja?” tanyanya tersengal-sengal.
Aku mengangguk. Aku akan tetap baik-baik saja meski ia tidak menarik
tanganku, membawaku berlari tanpa tujuan. Aku tidak mengenal orang-orang itu.
Dan ini, untuk pertama kalinya aku bersama dengan seorang manusia.
Pemuda itu tersenyum, lantas tertawa kecil.
“Ada apa?” tanyaku.
Ia menahan tawanya. “Aku baru sadar kalau aku telah membuatmu
terlibat dengan sesuatu yang bahkan kau sendiri tidak tahu,” ujarnya. Aku
menatapnya datar, mencoba mencerna apa yang dikatakannya barusan.
Beberapa menit kami saling terdiam. Aku masih menatapnya datar,
sedangkan dia terus mengintai keluar. Tiba-tiba saja rintik hujan mulai turun,
jatuh satu persatu, lantas semakin deras. Aku membelalakan mata, menatap setiap
bulir hujan yang hampir saja menimpa kakiku. Ini gawat.
“Ayo kemari!” Lagi, ia menarik tanganku. Membawaku untuk berteduh
dari derasnya air hujan yang luruh.
Deg! Jantungku tiba-tiba berdegup kencang. Ada sesuatu yang seakan
meledak-ledak. Kami, Putri Duyung hanya jatuh hati sekali. Dan kini aku sadar
bahwa aku telah jatuh hati. Tapi bagaimana bisa aku jatuh pada seorang manusia.
***
Waktu terus berlalu, bulan terus berganti. Bahkan Desember telah
datang sebagai pertanda bahwa sudah hampir setahun aku mengenalnya. Dia masih
berada di sana, tepat di hadapanku. Hari itu, dia bilang dia akan menjagaku.
“Siapa kamu?” tanyanya dulu. Aku hanya terdiam, enggan menjawab.
Bagaimana aku harus menjawab pertanyaan tersebut? Apa aku harus
menjawab kalau aku adalah seorang Putri Duyung? Tidak, aku tidak bisa berkata
begitu. Dia, atau semua manusia, mereka pasti sama. Tidak ada manusia yang bisa
dipercaya.
Aku tertunduk lesu, mulai merenungkan semua perkataan itu. Dulu,
saat pertama kali hatiku jatuh padanya, aku sudah mengetahui tentang kejamnya
manusia. Mereka adalah makhluk yang sangat sering berdusta. Tapi, lantas
mengapa aku mempercayakan diriku padanya? Mempercayakan hatiku padanya?
“Kamu … aku sudah tahu tentangmu,” tuturnya dengan tatapan dingin.
Sontak aku langsung mengangkat kepalaku, menatapnya dengan mata yang
berkaca-kaca.
“Maksudmu?” tanyaku yang tak mengerti.
Dia menggeleng. “Aku tak lagi bisa bersamamu. Aku tidak mungkin
hidup selamanya bersama seekor Putri Duyung.”
Apa maksud dari ucapannya? Bagaimana ia bisa mengetahui
itu?
Aku menatap punggungnya yang mulai menjauh. Saat itu, di bawah hujan
yang mengguyur kota, dia pergi meninggalkanku sendiri. Dia pergi dengan membawa
hatiku yang takkan pernah kembali utuh.
“Pulanglah!” serunya terakhir kali.
Hari itu seakan terus berputar dalam otakku. Aku selalu mengingat
semua rasa sakit yang tak dapat diobati. Memang benar semua dugaanku dulu.
Manusia, mereka sama sekali tak dapat dipercaya. Mereka hanya makhluk yang
pandai berkata dan berdusta.
***
Aku kembali membaca selembar surat tersebut. Di atas kertas itu, aku
dapat mengenalinya. Itu adalah tulisan tangan pemuda yang begitu aku cinta.
Hari itu, saat hujan luruh, aku menemukanmu kembali dalam memori
yang tak dapat kuhapus. Tahukah kamu? Aku telah lama mengenalmu, dan mungkin
kamu tak pernah ingat akan itu. Tapi tak mengapa, aku bahagia hanya dengan
dapat mengingatnya sendiri.
Aku telah mengenalmu sebelum hari itu, bahkan aku sudah
mengetahuinya. Kamu, bukan hanya seekor Putri Duyung. Tapi lebih dari itu, kamu
adalah seorang sahabat. Dan saat waktu mengantarkanmu kembali padaku, maka aku
juga tahu, kamu adalah cinta yang selalu ada dalam hatiku.
Kini, aku telah mengetahui semuanya. Itu tak pernah tertulis dalam
legenda atau catatan sejarah. Kalian adalah rahasia dari berjuta keajaiban.
Aku ingin bersamamu lebih lama, menggenggam tanganmu, juga berada di
sisimu. Aku ingin memastikan bahwa kau baik-baik saja. Tapi apa daya? Itu
bukanlah keputusan yang dapat kuambil. Karena nyatanya, melepaskanmu adalah
satu-satunya yang harus kulakukan.
Bukankah seekor Putri Duyung hanya akan bertahan hidup jika hatinya
terjaga? Atau mereka masih dapat terus bernyawa selama mereka tetap berada di
alam mereka?
Maka pulanglah! Hiduplah dengan baik!
Aku tidak bisa terus menahamu berada di sisiku. Itu hanya akan
membunuhmu. Karena pada akhirnya akulah yang akan benar-benar pergi. Pergi
sangat jauh.
Aku tidak tahu berapa lama lagi waktu yang tersisa. Tapi … aku
benar-benar berharap bisa melihatmu di sisiku pada saat aku mengembuskan napas
terakhir. Dan lagi, aku begitu bodoh jika masih mengharapkan hal tersebut. Aku
tahu kau takkan dapat hidup setelahnya.
Pergilah!
Dalam luka yang terus memangsa usia, juga dalam hati yang terus
terkikis rindu. Aku berharap untuk tak pernah meninggalkanmu dalam guyuran
hujan bersama tetes air mata. Aku ingin terus berada di sana.
Tapi aku tahu. Jika engkau berada di sisiku, itu sama dengan aku
membunuhmu perlahan. Membunuhmu dalam kesedihan yang mendalam.
Maka di sini, aku mengembara, memburu waktu yang begitu kejam
memisahkanku denganmu. Memisahkan kita yang pada akhirnya takkan pernah
bersatu. Tapi, meski begitu, satu yang takkan pernah berubah, satu yang takkan
pernah hilang. Itu adalah cintaku. Aku akan selalu tetap mencintaimu.
Dariku,
Pengembara.
Biodata:
~ Muhammad
Hafizat, anak kedua dari 5 bersaudara yang
dilahirkan 23 tahun lalu, tepatnya pada tanggal 05 Oktober 1994. Saya
senang menulis, karena dengan tulisan saya bisa menceritakan pada dunia
tentang saya. Dan bisa meninggalkan jejak saat jiwa dan raga tak mampu melihat
dunia lagi. FB: Hafiz.
~ Lily Rosella, gadis pencinta hujan yang lahir di penghujung tahun.
Menyukai warna-warna pastel. FB: Aila Calestyn. Email: Lyaakina@gmail.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar